Rabu, Januari 19, 2011

PLTP Ulubelu 2×55 Megawatt Akan Beroperasi 2012

Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) dengan kapasitas 2×55 Megawatt (MW) akan beroperasi pada akhir 2012.

Manager Komunikasi Pertamina Geothermal Energy (PGE) Adiatma Sardjito mengatakan saat ini untuk pembangunan proyek tersebut sedang dalam proses Engineering, Procurement, Construction (EPC). “PLTP ulubelu akan beroperasi pada akhir 2012,”ujar dia di Jakarta Kamis 14 Oktober 2010.
Dia menjelaskan, untuk harga jual uap sudah disepakati antara PLN dan PGE dengan harga US$4,2 sen per kilowatt hour (kwh).

Sementara itu, Staf Ahli Menteri Bidang Komunikasi dan Informasi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) Kardaya Warnika menuturkan, PLTP Ulubelu merupakan salah satu proyek yang dikejar pemerintah dalam program peningkatan pemanfaatan panas bumi guna mendorong pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT). “Untuk Ulubelu saat ini sudah dalam tahap evaluasi harga,”kata dia.

Selain PLTP Ulubelu, lanjut dia, proyek PLTP lain yang dimasukan dalam target peningkatan pemanfaatan panas bumi yaitu PLTP Lahendong (Sulawesi Utara) yang saat ini dalam tahap pekerjaan fasilitas, penyelsaian PLTP Sarulla (sumatera Utara) sedang dalam tahap verifikasi oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKB) serta PLTP Ulumbu (NTT) dengan kapasitas 5 MW yang sedang dalam disain ulang.

Disisi lain, Kardaya memaparkan, selama periode kerja satu tahun Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II, pencapaian di bidang EBTKE selain peningkatan pemanfaatan panas bumi yaitu melaksanakan program peningkatan EBT untuk tenaga listrik, biogas, dan bahan bakar nabati serta terbentuknya Ditjen EBTKE.

Geliat Pengembangan Panas Bumi Nasional

Pertumbuhan permintaan listrik di Indonesia merupakan yang tercepat di Asia Tenggara. Hingga 2016, peningkatan permintaan konsumsi listrik diperkirakan mencapai rata-rata sebesar 7-9%. Guna memenuhi permintaan tersebut, berbagai upaya telah dilakukan, antara lain melalui Program Percepatan 10.000 MW Tahap I yang diperkirakan akan selesai pada 2013.

Proyek listrik 10.000 MW tahap I sebagian besar masih berupa pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang berbahan bakar batubara. Beberapa tahun lalu upaya ini memang menjadi solusi atas kenaikan harga serta semakin menipisnya pasokan bahan bakar minyak (BBM). Namun, hal itu tak relevan lagi untuk kondisi saat ini. Pasalnya, batubara telah menjadi bahan bakar mayoritas industri di berbagai negara, sehingga pasokan untuk pembangkit listrik dalam negeri menjadi berkurang. Disamping itu emisi yang dihasilkan dari pembakaran batubara juga cukup besar dan menjadi salah satu penyumbang GRK.

Sebenarnya masih ada sebuah ruang yang bisa dimanfaatkan guna meningkatkan pasokan listrik di Indonesia yakni melalui renewable energy atau energi terbarukan, yang menjadi salah satu jawaban tepat atas berbagai keterbatasan pasokan listrik di tanah air. Melalui Program Percepatan 10.000 MW Tahap II direncanakan selesai pada 2015, selain PLTU turut dikembangkan pula pembangkit listrik berbahan bakar renewable energy terutama panas bumi, tenaga air, dan tenaga matahari.

Soal potensi energi terbarukan tersebut, data menunjukkan Indonesia sangat berpeluang mengembangkan kekayaan alam tersebut. Cadangan geotermal di Indonesia merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara, dengan perkiraan sumber daya mencapai 28.543 MW. Sementara itu potensi sumber daya Hydro energy 75.000 MW dan mini/mikro hydro 769,69 MW.

Wapres Minta Pemda Perlancar Pembangunan PLTP

Seperti dikutip dari kantor berita nasional ANTARA (28/12), usai Rapat Wakil Presiden (27/12), Juru Bicara Wapres Yopie Hidayat menyampaikan bahwa Wapres Boediono memerintahkan kepada Pemerintah Daerah memperlancar proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas bumi (PLTP).

Wapres menyampaikan bahwa pembangunan PLTP harus dipermudah karena panas bumi merupakan energi ramah lingkungan yang perlu digencarkan penggunaannya. Selain itu, hal tersebut juga akan dapat meningkatkan kegiatan ekonomi di daerah tersebut.

Yopie menuturkan, Peraturan Presiden (Perpres) tentang panas bumi ditargetkan selesai tahun ini dan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tentang panas bumi akan segera selesai pada Januari 2011. “Jika sudah ada regulasi yang jelas, maka pelaksanaannya ada di tangan para kepala daerah sebagai kepala tender proyek,” ujar Yopie.

Saat ini Indonesia baru memanfaatkan energi panas bumi sebesar 1.100 MW, atau sekitar 4,2 % dari cadangan panas bumi nasional. Padahal Indonesia menyimpan 40 % dari potensi panas bumi dunia yang menjadikan negeri ini memiliki potensi panas bumi terbesar. Indonesia tertinggal dari Amerika Serikat yang telah memanfaatkan 4.000 MW, dan Filipina sekitar 2.000 MW.

Pengembangan sumber energi panas bumi yang tergolong masih kecil hingga saat ini terutama akibat masih terdapat berbagai kendala. Seperti, investasi awal yang membutuhkan dana besar. Sebab tahap eksplorasi sumber panas bumi memiliki resiko tinggi sehingga berdampak pada aspek pembiayaan, nilai keseluruhan proyek hingga penghitungan harga uap untuk menggerakan turbin pada PLTP. Selain membutuhkan dana besar juga menghadapi resiko kegagalan (dry).

Dari sisi biaya, pembangunan PLTU juga lebih ekonomis dibandingkan PLTP. Selain itu, dari sisi harga listrik per kWh-nya, secara agregat harga listrik dari PLTU untuk setiap kWh juga lebih murah dibandingkan dengan PLTP.

Ini terutama disebabkan banyak biaya tak langsung (indirect cost) yang tidak dimasukkan ke dalam perhitungan tersebut. Tapi, ketika berbagai biaya langsung, terutama transportasi batubara dan kendala cuaca, dimasukkan ke dalam perhitungan biaya per kWh, maka harga akan relatif berimbang.

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 76 TAHUN 2000 TENTANG PENGUSAHAAN SUMBER DAYA PANAS BUMI UNTUK PEMBANGKITAN TENAGA LISTRIK

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 76 TAHUN 2000

TENTANG

PENGUSAHAAN SUMBER DAYA PANAS BUMI

UNTUK PEMBANGKITAN TENAGA LISTRIK

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa sesuai dengan kebijaksanaan diversifikasi dan konservasi energi, perlu dilakukan

usaha dan upaya untuk lebih mendorong penggunaan sumber daya panas bumi sebagai

energi untuk pembangkitan tenaga listrik secara efisien dan berdaya saing;

b. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, dan guna mendapatkan harga listrik

yang layak serta adanya rasio risiko antara pembeli dan pemasok yang seimbang, perlu

dilakukan pembaruan pengaturan tentang pengusahaan sumber daya panas bumi untuk

pembangkitan tenaga listrik;

Mengingat :

1. Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945;

2. Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3317);

3. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 43, Tambahan Lembaran

Negara Nomor 3687);

4. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran

Negara Nomor 3699);

5. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor

3839);

6. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara

Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999

Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3848);

7. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak

Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59,

Tambahan Lembaran Negara Nomor 3838);

8. Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 1998 tentang Kerja Sama Pemerintah dan Badan

Usaha Swasta dalam Pembangunan dan atau Pengelolaan Infrastruktur;

9. Keputusan Presiden Nomor 166 Tahun 1999 tentang Restrukturisasi dan Rehabilitasi PT.

(PERSERO) Perusahaan Listrik Negara;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KEPUTUSAN PRESIDEN TENTANG PENGUSAHAAN SUMBER DAYA PANAS BUMI UNTUK

PEMBANGKITAN TENAGA LISTRIK.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Keputusan Presiden ini yang dimaksud dengan :

1. Pengusahaan sumber daya panas bumi adalah rangkaian kegiatan yang meliputi

kegiatan eksplorasi, eksploitasi dan pembangkitan tenaga listrik.

2. Eksplorasi adalah kegiatan penyelidikan geologi, geokimia, geofisika, dan landaian suhu

yang apabila diintegrasikan pada suatu daerah panas bumi dapat menghasilkan uap atau

fluida melalui pengeboran sumur eksplorasi untuk mengetahui tingkat cadangan terduga,

tingkat cadangan mungkin dan tingkat cadangan terbukti.

3. Eksploitasi adalah kegiatan yang meliputi pengeboran sumur produksi dan injeksi untuk

mencapai target kapasitas produksi, pembangunan fasilitas lapangan panas bumi untuk

pembangkitan tenaga listrik.

4. Wilayah Usaha adalah wilayah tertentu untuk melakukan kegiatan eksplorasi, eksploitasi

dan pembangkitan tenaga listrik yang batas-batas dan syarat-syarat wilayah ditetapkan

oleh Kepala Daerah.

5. Iuran Eksploitasi adalah iuran yang dibayarkan kepada Negara atas hasil yang diperoleh

dari pengusahaan sumber daya panas bumi.

6. Izin Pengusahaan adalah izin yang diberikan oleh Kepala Daerah kepada Badan Usaha

untuk melakukan kegiatan pengembangan sumber daya panas bumi untuk

pembangkitan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri di wilayah usahanya.

7. Badan Usaha adalah Badan Usaha Milik Negara sebagai Pemegang Kuasa Usaha

Ketenagalistrikan (PKUK), Koperasi dan Badan Usaha Swasta yang berbadan hukum

yang dibentuk dan didirikan berdasarkan hukum Indonesia.

8. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang sumber daya panas bumi dan

ketenagalistrikan.

9. Pemerintah adalah Departemen Pertambangan dan Energi c.q. unit yang bertanggung

jawab di bidang sumber daya panas bumi.

10. Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) adalah rencana kebutuhan daya

listrik nasional yang ditetapkan oleh Menteri.

BAB II

EKSPLORASI

Pasal 2

(1) Eksplorasi sumber daya panas bumi dapat dilaksanakan oleh Pemerintah, Koperasi dan

Badan Usaha Swasta.

(2) Eksplorasi sumber daya panas bumi oleh Pemerintah didasarkan pada prospek panas bumi

dan kebutuhan daya listrik.

(3) Eksplorasi sumber daya panas bumi oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)

dapat dilaksanakan sampai dengan penemuan cadangan terbukti.

(4) Data hasil eksplorasi sumber daya panas bumi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah

milik Pemerintah.

(5) Eksplorasi sumber daya panas bumi oleh Koperasi dan Badan Usaha Swasta sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) dilakukan untuk pembangkitan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri.

(6) Eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), diberikan batas waktu paling lama 3 (tiga)

tahun sejak tanggal izin pengusahaan dikeluarkan sampai dengan penemuan cadangan terbukti

dan apabila perlu dapat diperpanjang paling banyak 2 (dua) kali masing-masing 1 (satu) tahun.

(7) Ketentuan mengenai tata cara dan persyaratan Eksplorasi ditetapkan lebih lanjut oleh

Menteri.

BAB III

EKSPLOITASI

Pasal 3

(1) Badan Usaha yang melakukan Eksploitasi untuk pembangkitan tenaga listrik untuk

kepentingan umum harus membuat rencana Eksploitasi.

(2) Eksploitasi sumber daya panas bumi oleh Koperasi dan Badan Usaha Swasta untuk

pembangkitan tenaga listrik untuk kepentingan umum, pelaksanaannya dilakukan atas kerja

sama dengan PKUK melalui lelang.

(3) Dalam hal eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) tidak sampai pada

penemuan cadangan terbukti, Badan Usaha dapat melakukan eksplorasi lanjutan dan eksploitasi

untuk pembangkitan tenaga listrik.

(4) Eksplorasi lanjutan dan eksploitasi untuk pembangkitan tenaga listrik sebagaimana dimaksud

dalam ayat (3) oleh Badan Usaha Swasta dan Koperasi, dilakukan atas kerja sama dengan

PKUK melalui lelang.

(5) Eksploitasi sumber daya panas bumi yang dilakukan oleh Badan Usaha untuk pembangkitan

tenaga listrik untuk kepentingan umum didasarkan pada RUKN.

(6) Koperasi dan Badan Usaha Swasta yang mengikuti lelang sebagaimana dimaksud dalam

ayat (2) dan ayat (4) wajib memiliki kemampuan keuangan, teknis operasional, dan penilaian

kinerja yang baik.

(7) Eksploitasi sumber daya panas bumi yang dilakukan oleh Koperasi dan Badan Usaha Swasta

untuk pembangkitan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri tidak mengikat Pemerintah atau

PKUK untuk membeli tenaga listrik yang dihasilkan.

(8) Tata cara dan syarat-syarat pelelangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) ditetapkan

lebih lanjut oleh Menteri.

BAB IV

PEMBANGKITAN TENAGA LISTRIK

Pasal 4

Pembangunan dan pengoperasian instalasi pembangkit tenaga listrik dilaksanakan berdasarkan

peraturan perundang-undangan di bidang ketenagalistrikan.

BAB V

PERIZINAN

Pasal 5

(1) Pengusahaan sumber daya panas bumi selain yang dilakukan oleh Pemerintah dan atau oleh

PKUK, pada tingkat eksplorasi, hanya dapat dilakukan berdasarkan Izin Pengusahaan.

(2) Pengusahaan sumber daya panas bumi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan

dengan pembiayaan tanpa jaminan dan tanpa kewajiban dari pemerintah terhadap modal yang

ditanamkan.

(3) Izin Pengusahaan sumber daya panas bumi untuk pembangkitan tenaga listrik hanya dapat

diberikan kepada Badan Usaha Swasta dan Koperasi yang telah memenuhi syarat-syarat

administrasi, teknis dan keuangan.

(4) Kepala Daerah sesuai dengan kewenangannya masing-masing memberikan Izin

Pengusahaan sumber daya panas bumi untuk pembangkitan tenaga listrik untuk kepentingan

sendiri di wilayah usahanya dalam jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari kalender

setelah permohonan izin diterima secara lengkap.

(5) Dalam hal permohonan izin tidak mendapat persetujuan, Kepala Daerah menyampaikan

jawaban tertulis disertai alasan penolakan.

(6) Badan Usaha wajib melaksanakan Eksploitasi dan membangun instalasi pembangkit tenaga

listrik sampai dengan beroperasinya tenaga listrik paling lambat 5 (lima) tahun sejak tanggal

dikeluarkan Izin Pengusahaan.

(7) Kepala Daerah dapat mencabut atau membatalkan Izin Pengusahaan, dalam hal Badan

Usaha Swasta dan Koperasi:

a. memindahkan Izin Pengusahaan kepada pihak lain tanpa persetujuan Kepala Daerah;

atau

b. tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (6).

(8) Tata cara perizinan pengusahaan sumber daya panas bumi untuk pembangkitan tenaga listrik

ditetapkan oleh Menteri.

BAB VI

H A K

Pasal 6

Pemegang Izin Pengusahaan berhak melakukan kegiatan Eksplorasi dan atau Eksploitasi serta

pembangkitan tenaga listrik dalam Wilayah Usaha selama Izin Pengusahaan masih berlaku.

BAB VII

KEWAJIBAN

Pasal 7

(1) Pemerintah, PKUK atau Pemegang Izin Pengusahaan harus memberitahukan lebih dulu

kepada Pemerintah Daerah setempat sebelum melaksanakan kegiatan Eksplorasi dan atau

Eksploitasi serta pembangkitan tenaga listrik.

(2) Dalam hal di Wilayah Usaha terdapat bagian-bagian tanah yang dikuasai oleh pemegang hak

atas tanah atau pemakai tanah, maka sebelum memulai kegiatannya, Badan Usaha wajib

menyelesaikan masalah tanah tersebut sesuai peraturan perundang-undangan di bidang

pertanahan.

(3) Dalam hal di Wilayah Usaha terdapat tanah ulayat dan yang serupa dari masyarakat hukum

adat, maka penyelesaian hak-hak atas tanah di Wilayah Usaha tersebut dilakukan oleh Badan

Usaha dengan masyarakat hukum adat yang bersangkutan sesuai kesepakatan kedua belah

pihak.

(4) Perolehan tanah-tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) dapat dilakukan

dengan cara perjanjian pemakaian, pengalihan hak, pelepasan hak atau kerja sama.

(5) Perolehan tanah-tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dilakukan hanya terhadap

tanah yang dipergunakan langsung untuk kepentingan Badan Usaha yang bersangkutan.

(6) Perolehan tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dilakukan dengan cara yang paling

menguntungkan bagi kedua belah pihak.

Pasal 8

(1) Pemegang Izin Pengusahaan dalam melaksanakan kegiatan Eksplorasi dan atau eksploitasi

serta pembangkitan tenaga listrik mengutamakan tenaga setempat sesuai dengan keahliannya.

(2) Pemegang Izin Pengusahaan wajib menyampaikan rencana kerja dan anggaran kepada

Kepala Daerah serta bertanggung jawab atas segala akibat yang timbul dari pelaksanaan izin

yang dimiliki.

(3) Pemegang Izin Pengusahaan wajib melaporkan setiap rencana perubahan yang berhubungan

dengan kegiatan Eksplorasi dan atau Eksploitasi kepada Kepala Daerah.

BAB VIII

PENETAPAN DAN PENGEMBALIAN WILAYAH

Pasal 9

Batas dan luas wilayah kegiatan Eksplorasi, Eksploitasi dan pembangkitan tenaga listrik

ditetapkan oleh Kepala Daerah berdasar-kan pertimbangan teknis dan kondisi setempat, dan

dicantumkan dalam surat Izin Pengusahaan.

Pasal 10

(1) Dalam hal Eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (6) telah selesai, Badan

Usaha wajib mengembalikan seluruh wilayah yang tidak dipergunakan lagi.

(2) Dalam hal Eksploitasi telah selesai dan telah dilaksanakan usaha pelestarian fungsi

lingkungan, Badan Usaha wajib secara tertulis mengembalikan seluruh wilayah yang tidak

dipergunakan lagi kepada Kepala Daerah dengan tembusan kepada Menteri, selambatlambatnya

90 (sembilan puluh) hari kalender setelah kegiatan pembangkitan dimulai.

(3) Pengembalian wilayah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) adalah sah

setelah mendapat persetujuan tertulis dari Kepala Daerah berdasarkan evaluasi teknis dan

rekomendasi Pemerintah Daerah setempat dalam pelaksanaan pelestarian fungsi lingkungan.

(4) Kepala Daerah menetapkan persetujuan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga

puluh) hari kalender setelah menerima permohonan pengembalian wilayah.

Pasal 11

(1) Apabila Badan Usaha telah mengembalikan sebagian atau seluruh wilayah usaha kepada

Pemerintah, maka Badan Usaha yang bersangkutan dibebaskan dari segala kewajiban yang

berhubung-an dengan penguasaan dan penggunaan tanah di wilayah yang dikembalikan

tersebut.

(2) Apabila sebagian atau seluruh wilayah usaha telah dikembalikan, maka Badan Usaha yang

bersangkutan wajib menyerahkan kepada Menteri semua foto, ukuran tanah, dan data

kepanasbumian lainnya baik dalam bentuk analog maupun digital yang ada hubungannya

dengan pelaksanaan pengusahaan sumber daya panas bumi.

BAB IX

PENERIMAAN NEGARA

Pasal 12

(1) Badan Usaha yang melaksanakan pengusahaan sumber daya panas bumi wajib menyetorkan

Iuran Eksploitasi ke kas Negara.

(2) Penerimaan iuran eksploitasi merupakan penerimaan Negara yang dibagi menurut

perimbangan bagian Pemerintah Pusat dan bagian Pemerintah Daerah sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

(3) Penerimaan iuran eksploitasi yang merupakan bagian Pemerintah Pusat adalah Penerimaan

Negara Bukan Pajak.

(4) Tarif, tata cara pengenaan, pemungutan dan penggunaan iuran eksploitasi ditetapkan sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 13

(1) Badan Usaha yang melaksanakan pengusahaan sumber daya panas bumi wajib memenuhi

ketentuan perpajakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Badan Usaha yang melaksanakan penanaman modal di bidang pengusahaan sumber daya

panas bumi dapat diberikan fasilitas perpajakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

BAB X

HARGA JUAL TENAGA LISTRIK

Pasal 14

(1) Harga jual tenaga listrik oleh Badan Usaha kepada konsumen dinyatakan dalam rupiah.

(2) Tata cara dan syarat-syarat jual beli tenaga listrik ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri.

BAB XI

KESELAMATAN KERJA DAN LINGKUNGAN

Pasal 15

(1) Pekerja yang melakukan kegiatan dalam pengusahaan sumber daya panas bumi wajib

menggunakan peralatan dan perlengkapan sesuai kebutuhan yang memenuhi syarat kesehatan

dan keselamatan kerja.

(2) Setiap orang yang diizinkan masuk wilayah kegiatan pengusahaan sumber daya panas bumi,

harus didampingi oleh petugas yang berwenang dan wajib menggunakan peralatan keselamatan

kerja.

(3) Pada tempat kerja, jalan dan gedung di wilayah usaha harus dilengkapi dengan tanda-tanda

larangan, peringatan dan anjuran yang jelas dan mudah dimengerti, yang ditempatkan pada

lokasi yang strategis.

Pasal 16

Pemerintah, PKUK, dan Pemegang Izin Pengusahaan wajib menjaga kelestarian fungsi

lingkungan.

Pasal 17

(1) PKUK dan Pemegang Izin Pengusahaan wajib menyediakan peralatan pencegahan dan

penanggulangan pencemaran lingkungan, antara lain :

a. kolam penampungan lumpur bekas pengeboran (mud pit) yang kedap air dengan daya

tampung yang cukup memadai dan daya serap terhadap bahan pencemaran yang tinggi,

sehingga kualitas air limbah yang mengalir ke luar dapat memenuhi ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku;

b. peredam suara, sehingga tingkat kebisingan yang terjadi di daerah perumahan dan

pemukiman adalah di bawah nilai ambang batas 55 dB dan untuk daerah Ruang Terbuka

Hijau adalah di bawah 50 dB.

(2) PKUK dan Pemegang Izin Pengusahaan wajib melakukan:

a. pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh

pengusahaan sumber daya panas bumi; dan

b. pencegahan terjadinya erosi tanah yang diakibatkan oleh pengusahaan sumber daya

panas bumi.

(3) Dalam mempersiapkan lokasi pengeboran, PKUK dan Pemegang Izin Pengusahaan harus

memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

a. membuat saluran air (drainage) sepanjang jalan baru dan di sekitar lokasi pengeboran;

b. pembukaan lahan untuk jalan dan lokasi pengeboran harus dilakukan seminimal

mungkin;

c. pengambilan air untuk keperluan pengeboran harus memperhatikan kepentingan pihak

lain.

(4) PKUK dan Pemegang Izin Pengusahaan wajib menutup sumur bor Eksplorasi yang tidak

dimanfaatkan lagi, untuk menghindari terjadinya semburan liar uap dan gas yang berbahaya

terhadap lingkungan di sekitarnya.

(5) PKUK dan Pemegang Izin Pengusahaan wajib mengelola sumur bor Eksplorasi dan atau

Eksploitasi yang berpotensi terjadinya semburan gas yang tidak terkendali.

Pasal 18

(1) PKUK dan Pemegang Izin Pengusahaan wajib melakukan pencegahan dan penanggulangan

pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatan Eksploitasi sumber daya panas bumi.

(2) PKUK dan Pemegang Izin Pengusahaan dilarang membuang limbah padat, limbah cair dan

emisi gas yang dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan.

(3) PKUK dan Pemegang Izin Pengusahaan harus mempunyai alat pengelola limbah (padat, cair

dan gas buang) yang mempunyai persyaratan teknis, sebagai berikut :

a. mempunyai kapasitas yang mampu mengolah limbah (limbah padat (B3/non B3), cair

dan gas buang) yang bersangkutan;

b. mampu menurunkan kadar limbah (padat, cair dan gas buang) yang membahayakan;

c. memungkinkan pengambilan contoh limbah (padat, cair dan gas buang).

Pasal 19

PKUK dan Pemegang Izin Pengusahaan harus memenuhi baku mutu udara dan limbah cair

sebagai berikut :

a. Baku mutu udara ambient untuk SO2 tidak lebih dari 365 ug/Nm?, CO tidak lebih dari

10.000 ug/Nm? , NO2 tidak lebih dari 150 ug/Nm?;

b. Baku mutu udara emisi untuk SO2 tidak lebih dari 800 mg/m?, NO2 tidak lebih dari 100

mg/m?, H2S tidak lebih dari 35 mg/m?, amonia (NH3) tidak lebih dari 0,5 mg/m?;

c. baku mutu kualitas limbah cair yaitu temperatur air buangan tidak lebih dari 38 0C,

kekeruhan 30 NTU, padatan terlarut 2000 mg/l, padatan tersuspensi 80 mg/l, pH 6 – 9,

BOD tidak lebih dari 50 mg/l, COD tidak lebih dari 100 mg/l, klorin bebas (Cl2) tidak lebih

dari 1 mg/l, sianida (CN) 0,02 mg/l, Arsen (As) 0,1 mg/l, Sulfida (H2S) 0,05 mg/l.

Pasal 20

Pengusahaan sumber daya panas bumi untuk pembangkitan tenaga listrik tidak boleh

dilaksanakan di kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, dan kawasan cagar budaya.

BAB XII

SANKSI

Pasal 21

(1) Pemegang Izin Usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7,

Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal

13 ayat (1), Pasal 14 ayat (1), Pasal 15, dan Pasal 17 diberikan sanksi oleh Kepala Daerah,

berupa :

a. Pencabutan sementara Izin Pengusahaan, atau

b. Pencabutan Izin Pengusahaan.

(2) Sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan setelah terlebih dahulu mendapat

peringatan secara tertulis.

BAB XIII

JANGKA WAKTU DAN PENGAKHIRAN

Pasal 22

(1) Izin Pengusahaan berlaku paling lama 30 (tiga puluh) tahun, dengan ketentuan :

a. dalam hal kegiatan pengusahaan sumber daya panas bumi dilakukan oleh Koperasi dan

Badan Usaha Swasta untuk pembangkitan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5), Izin Pengusahaan dihitung sejak

dimulainya tahap Eksplorasi;

b. dalam hal kegiatan pengusahaan sumber daya panas bumi dilakukan oleh Koperasi dan

Badan Usaha Swasta untuk pembangkitan tenaga listrik untuk kepentingan umum

sebagai tindak lanjut atas ekplorasi yang dilaksanakan oleh pemerintah sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3), Izin Pengusahaan dihitung sejak dimulainya tahap

Eksploitasi.

(2) Paling lambat 6 (enam) bulan setelah jangka waktu Izin Pengusahaan berakhir, Badan Usaha

wajib mengembalikan Wilayah Usaha kepada Kepala Daerah.

(3) Setelah berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) semua aset yang

berkaitan dengan pengusahaan panas bumi menjadi milik Negara.

(4) Kepala Daerah menetapkan persetujuan pengakhiran pengusahaan setelah Badan Usaha

melaksanakan pelestarian dan pemulihan fungsi lingkungan pada lokasi pengusahaan panas

bumi yang dinyatakan oleh Pemerintah Daerah setempat.

Pasal 23

(1) Izin Pengusahaan sumber daya panas bumi untuk pembangkitan tenaga listrik dapat

diperbarui dengan izin Kepala Daerah.

(2) Kepala Daerah mengeluarkan pembaruan izin pengusahaan sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) berdasarkan evaluasi yang dilakukan oleh tenaga ahli yang berwenang.

BAB XIV

PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 24

(1) Menteri dan Kepala Daerah, sesuai dengan fungsinya masing-masing, melakukan pembinaan

dan pengawasan terhadap pelaksanaan Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi.

(2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi kelangsungan

penyediaan tenaga listrik, keselamatan ketenagalistrikan yang mencakup keselamatan instalasi

sumur panas bumi maupun instalasi tenaga listrik, keselamatan kerja, keselamatan umum,

lindungan fungsi lingkungan, dan tercapainya standardisasi.

BAB XV

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 25

(1) Kontrak Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi dan atau Kontrak Kerja Sama

Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi yang telah ditandatangani sebelum ditetapkan

Keputusan Presiden ini, tetap berlaku, dan tetap dikenakan peraturan perpajakan berdasarkan

Keputusan Presiden Nomor 49 Tahun 1991 sampai Kontrak Kerja Sama yang bersangkutan

berakhir, sepanjang tidak ditetapkan lain berdasarkan hasil negosiasi ulang kontrak oleh Tim

Restrukturisasi dan Rehabilitasi PT. (PERSERO) Perusahaan Listrik Negara sesuai Keputusan

Presiden Nomor 166 Tahun 1999 tentang Tim Restrukturisasi dan Rehabilitasi PT. (PERSERO)

Perusahaan Listrik Negara.

(2) Kuasa dan wilayah kerja pengusahaan sumber daya panas bumi yang telah diberikan kepada

Pertamina sebelum ditetapkan Keputusan Presiden ini tetap berlaku selama 2 (dua) tahun sejak

diberlakukan Keputusan Presiden ini, dan Pertamina wajib melakukan penyesuaian kegiatannya

berdasarkan Keputusan Presiden ini.

(3) Pertamina wajib menyerahkan kepada Menteri dokumen Eksplorasi dan Eksploitasi dalam

pengusahaan sumber daya panas bumi yang telah dilakukan sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1) dan yang akan dilakukan dalam sisa jangka waktu 2 (dua) tahun sebagaimana dimaksud

dalam ayat (2).

BAB XVI

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 26

Dengan ditetapkan Keputusan Presiden ini, Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1981

sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 45 Tahun 1991 dan Keputusan

Presiden Nomor 49 Tahun 1991 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai

dan Pungutan-pungutan Lainnya terhadap Pelaksanaan Kuasa dan Izin Pengusahaan Panas

Bumi untuk Pembangkitan Tenaga/Energi Listrik dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 27

Pelaksanaan ketentuan Keputusan Presiden ini ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan

Menteri.

Pasal 28

Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 31 Mei 2000

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

ABDURRAHMAN WAHID

PANAS BUMI, PENGEMBANGAN DAN DUKUNGAN KEBIJAKAN PEMERINTAH

PANAS BUMI, PENGEMBANGAN DAN DUKUNGAN KEBIJAKAN PEMERINTAH

Pengembangan sumber panas bumi di Indonesia sebenarnya tergolong sudah lama dilakukan. Berdasarkan catatan pengembangan sudah dilakukan sejak jaman penjajahan Belanda. Pengembangan yang pertama dilakukan adalah terhadap sumber panas bumi Kamojang, Garut, Jawa Barat. Hingga saat ini, sumber panas bumi Kamojang masih bisa dimanfaatkan. Secara umum pengembangan sumber panas bumi di Indonesia bisa dikelompokan ke dalam era sebelum kemerdakaan, pra UU nomor 27 tahun 2003 dan era atau setelah terbitnya UU nomor 27 tahun 2003.

Saat usai kemerdekaan RI, pengembangan sumber panas bumi bisa dikatakan berhenti atau tidak ada kegiatan. Hal ini bisa dimaklumi karena, bangsa Indonesia ketika itu tengah mengalam peperangan mempertahankan kemerdekaan. Pengembangan panas bumi mulai dilakukan lagi pada tahun 1970-an atau era pra UU nomor 27 tahun 2003. Kegiatan pengembangan panas bumi berlangsung cukup intensif dengan dikeluarkannya Keppres nomor 16 tahun 1974. Keppres ini menugaskan Pertamina (saat itu belum ada UU Migas) untuk melaksanakan survei dan eksplorasi sumber daya panas bumi khususnya di Jawa dan Bali. Sedang untuk survei dan eksplorasi di luar Jawa-Bali dilakukan oleh pemerintah yang dilakukan oleh Direktorat Vulkanologi. Survei dilakukan di pegunungan Kerinci Jambi dan Lahendong, Sulawesi Utara.

Kemudian pada tahun 1981 dikeluarkan Keppres nomor 22 tahun 1981 dan Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi nomor 10/P/M/MENTAMBEN/81 serta Keppres nomor 23 tahun 1981. Berdasarkan ketentuan ini Pertamina diberi Kuasa Pengusahaan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya panas bumi di seluruh Indonesia untuk membangkitkan listrik dan wajib menjual energi listrik yang dihasilkan kepada PT PLN (Persero).

Selain itu juga berlaku pula UU nomor 44 Prp tahun 1960 dan UU nomor 8 tahun 1971. Pengeculian adalah dalam hal Pajak Perseroan dan Pajak Bunga, Deviden dan Royalty. Ketentuan ini juga mengatur pajak pengusahaan sumber daya panas bumi yaitu pajak 46 persen dari penerimaan bersih usaha hasil pelaksanaan pengusahaan sumber daya panas bumi. Pada saat ini Pertamina bersama kontraktor tergolong intensif melakukan eksplorasi sumber panas bumi.

Pada tahun 1991, pemerintah mengeluarkan Keppres nomor 45 tahun 1991 sebagai penyempurnaan Keppres nomor 22 tahun 1981. Selain itu juga dikeluarkan Keppres nomor 49 tahun 1991 yang mencabut Keppres nomor 22 tahun 1981. Berdasarkan ketentuan ini Pertamina dapat menjual energi uap atau listrik hasil pengusahaan sumber daya panas bumi kepada PT PLN (Persero), instansi lain, badan usaha nasional lain yang berstatus badan hukum termasuk koperasi. Adapun pajak pengusahaan sumber daya panas bumi sebesar 34 persen dari penerimaan bersih usaha hasil pelaksanaan pengusahaan sumber daya panas bumi.

Selanjutnya pada tahun 2000 dikeluarkan Keppres nomor 76 tahun 2000 yang mencabut Keppres nomor 22 tahun 1981 dan Keppres nomor 45 tahun 1991. Ketentuan yang lahir di era reformasi ini mencabut monopoli pengusahaan panas bumi oleh Pertamina. Perlakuan sama terhadap semua pelaku bisnis geothermal di Indonesia. Sedang untuk pajak masih berlaku ketentuan lama sebelum ada ketentuan baru (iuran eksplorasi) dan pajak pengusahaan dsbnya.

Sebelum diberlakukan UU nomor 27 tahun 2003 diawali dengan diterbitkannya KUBE tahun 1998 yang mengatur diversifikasi energi dan intensifikasi pencarian sumber energi. Berdasarkan KUBE 1998 dilahirkan Kebijakan Energi Nasional 2003. Pada sisi pengaturan Kebijakan Industri Hulu dilakukan dengan meningkatkan inventarisasi dan evaluasi potensi melalui eksplorasi secara intensif untuk mengubah status potensi sumber daya spekulatif dan hipotetik menjadi cadangan terduga, mungkin dan terbukti.

Pada tahun 2003 DPR dan Pemerintah berhasil menyelesaikan UU nomor 27 tahun 2003 tentang Panas Bumi. Materi penting dari UU ini adalah memberikan kewenangan, peran aktif dan peluang yang lebih besar kepada daerah untuk dapat mengelola sumber daya panas bumi (aspek legislasi, perijinan dan pengawasan). Selain itu juga diatur melalui peraturan turannnya bahwa pengusahaan sumber melalui proses lelang Wilayah Kerja Panasbumi (WKP) sebelum mendapat Ijin Usaha Pengusahaan (IUP).

Pada tahun 2005, melalui Strategi Pengelolaan Energi pada Pengembangan Industri Energi Nasional 2005 ditegaskan mengenai peningkatan keamanan pasokan energi. Selain itu juga ditetapkannya target peningkatan kontribusi sumber daya panas bumi dalam sasaran bauran energi nasional dari 2 persen pada tahun 2005 menjadi 5 persen (9500 Mwe) pada tahun 2025.

Kemudian, berbagai ketentuan dikeluarkan pemerintah untuk mendorong pengembangan potensi sumber daya panas bumi. Seperti Permen ESDM nomor 005/2007 dan Permen ESDM nomor 2/2009 mengenai penugasan Survei Pendahuluan oleh Menteri kepada badan usaha yang dilaksanakan atas biaya dan resiko sendiri. Permen ESDM nomor 11/2008 tentang Tata Cara Penetapan WKP Panas Bumi. Permen ESDM nomor 14/2008 tentang Harga Patokan Penjualan Tenaga Listrik dari PLTP. Permen ESDM nomor 269-12/26/600.3/2008 tentang Biaya PokokPenyediaan Tenaga Listrik tahun 2008 yang disediakan oleh PT PLN. Permen ESDM nomor 05/2009 mengenai Pedoman Harga Pembelian Tenaga Listrik oleh PT PLN dari Koperasi atau badan usaha lain. Serta Permen ESDM nomor 11/2009 mengenai Pedoman Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Panas Bumi.

Secara umum, berdasarkan UU Panas Bumi dan beberapa Permen tersebut memberikan kewenangan lebih luas kepada pemerintah daerah. Baik itu menyangkut perijinan maupun aspek legilasi. Oleh sebab itu pemerintah daerah dituntut menyiapkan Sumber Daya Manusia yang memadai guna menjalankan pengawasan maupun pembinaan. Sedang pada Permen ESDM nomor 11/2009 memuat mengenai jaminan kesungguhan yang besarnya sebesar 10 miliar dolar AS. Jaminan kesungguhan adalah salah satu

persyaratan untuk mendapat IUP bagi perusahaan yang mengajukan ijin untuk mengembangkan panas bumi.

Pemerintah dan Pemerintah Daerah memiliki kewenangan melakukan Survei Pendahuluan (termasuk eksplorasi), perijinian, pembinaan dan pengawasan usaha panas bumi sesuai kewenangan masing-masing. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan data yang dijadikan dasar penetapan WKP Oleh Menteri ESDM. Selanjutnya, WKP inilah yang proses pelelangannya dilakukan oleh Pemerintah Daerah.
Untuk WKP yang berada di lokasi Kabupaten/Kota dilakukan Pemerintah Kabupaten/Kota. Untuk yang berlokasi di antara wilayah Kabupaten/Kota dilakukan Pemerintah Provinsi. Selanjutnya untuk yang berlokasi diantara dua Provinsi dilakukan oleh Pemerintah Pusat.

Secara umum Penetapan WKP Panas bumi sebagaimana diatur dalam Permen ESDM nomor 11 tahun 2008 meliputi tingkat penyelidikan dan statuts lahan. Tingkat penyelidikan bertujuan untuk mendapatkan data sudah dapat mendeliniasi gambaran awal sistem panas bumi yang meliputi sumber panas, reservoir (luas dan kedalaman), batuan tertutup, sifat fisik dan kimia fluida (temperatur dan unsur kimia) dan daerah recharge dan discharge. Mengenai status lahan (tata ruang dan penggunaan lahan) bahwa diluar kawasan konservasi (Taman Nasional) dan daerah terlarang lainnya menurut Undang-Undang yang berlaku.

Selain melakukan Survei Pendahuluan, pemerintah juga memiliki hak untuk menugaskan pihak lain untuk melakukan Survei Pendahuluan. Pada dasarnya Survei Pendahuluan ini merupakan right Pemerintah, artinya bisa diberikan kepada pihak lain atau dilakukan sendiri. Beberapa indikasi sumber daya panas bumi di beberapa daerah telah diberikan kepada pihak lain untuk melakukan Survei Pendahuluan.

Sebenarnya, berdasarkan Survei Pendahuluan berupa Survei Geologi, Geokimia dan Geofisika bisa didapatkan gambaran awal sistem panas bumi.
Baik itu mengenai dimensi reservoir, suhu atau temperatur fluida dsbnya. Ini menunjukan bahwa manifestasi permukaan merupakan path finder tentang keberadaan reservoir. Artinya, keberadaan sumber panas bumi ditandai beberapa manifestasi dipermukaannya. Misalnya, jika ada sumber air panas permukaan maka besar kemungkinan dibawah permukaan terdapat sumber panas bumi.

Oleh sebab itu keberadaan sumber panas bumi sangat berbeda dengan minyak dan gas bumi. Umumnya, keberadaan sumber daya migas lebih sulit di duga dibanding sumber panas bumi. Antara terbentuk, terkumpul maupun keberadaan migas memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi untuk mencarinya dibanding sumber panas bumi. Asal sumber panas bumi tergolong dewasa, tidak muda dan tidak tua, bisa diduga dibawah permukaan terdapat sumber panas bumi. Gambaran Manifestasi permukaan sumber panas bumi tersebut antara lain bisa dilihat pada dua gambar berikut ini, yaitu manifestasi permukaan model high terrain dan flat terrain.

Kendala Pengembangan

Pengembangan sumber energi panas bumi yang tergolong masih kecil hingga saat ini

terutama akibat masih terdapat berbagai kendala. Seperti, investasi awal yang membutuhkan dana besar. Sebab tahap eksplorasi sumber panas bumi memiliki resiko tinggi sehingga berdampak pada aspek pembiayaan, nilai keseluruhan proyek hingga penghitungan harga uap untuk menggerakan turbin pada PLTP. Selain membutuhkan dana besar juga menghadapi resiko kegagalan (dry).

Untuk itulah diperlukan peran pemerintah guna melakukan Survei Pendahuluan, bahkan jika diperlukan hingga pelaksanaan pemboran eksplorasi. Hanya saja untuk melakukan pemboran eksplorasi membutuhkan dana yang tergolong besar. Sekitar 6 juta dolar AS untuk pemboran setiap sumur. Sementara, dana yang dimiliki pemerintah sangat terbatas. Sehingga, jika untuk membiayai pemboran bisa menyedot anggaran negara yang terbatas itu. Sedang untuk Survei Pendahuluan relatif lebih murah sehingga bisa dilakukan oleh pemerintah.

Beberapa negara yang memiliki sumber panas bumi melakukan berbagai pola untuk mengembangkan sumber energi terbarukan ini. Negara Selandia Baru mengambil alih pelaksanaan dan pembiayaan Survei Pendahuluan hingga pemboran eksplorasi. Sehingga biaya pengembangan sumber panas bumi di negara tersebut menjadi relatif rendah bagi investor. Negara Iceland dan Italia tidak melakukan pembiayan pemboran eksplorasi. Namun umumnya tetap memiliki metode antara lain berupa Green Certificate maupun memberlakukan insentif dengan cara menyisihkan dana pengembangan energi fossil.

Untuk itu guna tetap mendorong pengembangan sumber panas bumi, serta sebagai strategi menghadapi realitas besarnya dana investasi, disarankan usaha pengembangan panas bumi sebaiknya dimulai dari sumber-sumber panas bumi yang berkapasitas kecil. Selanjutnya baru dilanjutkan untuk mengembangkan potensi sumber panas bumi yang berkapasitas lebih besar. Pola ini selain bertujuan mengatur skala prioritas juga untuk memperkuat kemampuan penguasaan teknologi, pengalaman dan pengembangan sumber panas bumi dimulai yang beresiko rendah. Modal inilah yang selanjutnya dimanfaatkan untuk pengembangan potensi yang berkapasitas besar.

Selain itu, pemilihan perusahaan yang mengembangkan sumber panas bumi juga bagi perusahaan yang memiliki kompetensi di bidang panas bumi. Sebab, berdasarkan kenyataan selama ini terdapat pula perusahaan yang tidak memiliki kompetensi dalam bidang panas bumi ikut proses pelelalangan pengusahaan panas bumi. Akibatnya, beberapa WKP yang sudah dilakukan pelelangan tidak kunjung dikerjakan. Hal ini selain diduga akibat faktor pendanaan juga disebabkan perusahaan yang bersangkutan tidak memiliki kompetensi yang memadai dalam bidang pengembangan panas bumi.

Peran PT PLN (Persero) sebagai pembeli tunggal dalam energi listrik yang dihasilkan dari PLTP membuat posisi tawar pengembang sumber panas bumi menjadi relatif lebih lemah. Selama ini harga jual listrik panas bumi menjadi ganjalan bagi pengembangan sumber panas bumi. Sebab, kepastian mengenai pembeli dan harga jual menjadi faktor menentukan pengembangan panas bumi. Sebelum ada kepastian mengenai pembeli dan harga jual, maka sumber panas bumi belum bisa dilakukan pengembangan.

Untuk itulah intervensi atau peran pemerintah sangat menentukan dan diperlukan dalam ikut menetapkan harga jual listrik panas bumi. Praktek keterlibatan pemerintah untuk ikut menetapkan harga jual listrik panas bumi juga dilakukan di beberapa negara lain yang juga memiliki potensi panas bumi. Kini harga jual panas bumi sudah ditetapkan oleh pemerintah. Tinggal menunggu respon kalangan investor untuk mengembangkan potensi panas bumi untuk memenuhi kebutuhan listrik di tanah air.(*)

Sejarah Panasbumi di Indonesia

Sejarah Panasbumi di Indonesia

Usulan JB Van Dijk pada tahun 1918 untuk memanfatkan sumber energi panasbumi didaerah kamojang, Jawa Barat, merupakan titik awal dari perkembangan panasbumi di Indonesia. Secara kebetulan, peristiwa itu bersamaan waktu dengan awal pengusahaan panasbumi di dunia, yaitu di Larnderello, Italia, yang juga terjadi di tahun 1918. Bedanya, kalau di Indonesia masih sebatas usulan, di Italia pengusahaan telah menghasilkan uap alam yang dapat dimanfaatkan untuk membangkitkan tenaga listrik.

1926 – 1928
Lapangan panasbumi Kamojang, dengan sumurnya bernama KMJ-3, yang pernah menghasilkan uap pada tahun 1926, merupakan tonggak pemboran eksplorasi panasbumi pertama oleh Pemerintah kolonial Belanda. Sampai sekarang, KMJ-3 masih menghasilkan uap alam kering dengan suhu 140C dan tekanan 2,5 atmosfer (atm).Sampai tahun 1928 telah dilakukan lima pemboran eksplorasi panasbumi, tetapi yang berhasil mengeluarkan uap — ya itu tadi — hanya sumur KMJ-3 dengan kedalaman 66 meter. Sampai saat ini KMJ-3 masih menghasilkan uap alam kering dengan suhu 1400 C dan tekanan 2,5 atmosfer.
Sejak 1928 kegiatan pengusahaan panasbumi di Indonesia praktis terhenti dan baru dilanjutkan kembali pada tahun 1964. Dari 1964 sampai 1981 penyelidikan sumber daya panasbumi dilakukan secara aktif bersama-sama oleh Direktorat Vulkanologi (Bandung), Lembaga Masalah Ketenagaan (LMK PLN dan ITB) dengan memanfaatkan bantuan luar negeri.

1970-an
Tahun 1972 telah dilakukan pemboran pada enam buah sumur panasbumi di pegunungan Dieng, dengan kedalaman mencapai 613 meter. Sayangnya, dari keenam sumur tersebut tidak satu pun yang berhasil ditemukan uap panasbumi.Penyelidikan yang lebih komprehensif di Kamojang dilakukan pada 1972 menyangkut geokimia, geofisika, dan pemetaan geologi. Di tahun itu Cisolok, Jawa Barat, dan kawah Ijen, Jawa Timur, juga dilakukan penyelidikan.Lalu di tahun 1974, Pertamina aktif di dalam kegiatan di Kamojang, bersama PLN, untuk pengembangan pembangkitan tenaga listrik sebesar 30 MW. Selesai tahun 1977. Saat itu Selandia Baru memberikan bantuan dana sebesar 24 juta dolar New Zealand dari keperluan 34 juta dolar NZ. Sekurangnya dibiayai Pemerintah Indonesia.Selain itu, Pertamina juga membangun dua buah monoblok dengan kapasitas total 2 MW di lapangan Kamojang dan Dieng. Diresmikan 27 November 1978 untuk monoblok Kamojang dan tanggal 14 Mei 1981 untuk monoblok Dieng.PLTP Kamojang sendiri diresmikan 1 Februari 1983 dengan kapasitas 30 MW. Perkembangan cukup penting di Kamojang terjadi pada tahun 1974, ketika Pertamina bersama PLN mengembangkan lapangan panasbumi tersebut. Sebuah sumur panasbumi dieksplorasi dengan kedalaman 600 meter yang menghasilkan uap panasbumi dengan semburan tegak oleh suhu pipa pada garis alir 1290.Di luar Pulau Jawa, sumber daya panasbumi dikembangkan di Lahendong, Sulawesi Utara, dan di Lempung Kerinci. Kunjungan tim survei di Lahendong di tahun 1971 melibatkan Direktorat Geologi Bandung, PLN, dan pakar panasbumi dari Selandia Baru. Survei tersebut pada 1977/1978 oleh tim survei dari Kanada, yaitu Canadian International Development Agency (CIDA).

1980-an

Pada 1980-an usaha pengembangan panasbumi ditandai oleh keluarnya Keppres No. 22 Tahun 1981 untuk menggantikan Keppres No. 16 Tahun 1974. Menurut ketentuan dalam Keppres No. 22/1981 tersebut, Pertamina ditunjuk untuk melakukan survei eksplorasi dan eksploitasi panasbumi di seluruh Indonesia. Atas dasar itu sejak 1982 kegiatan di Lahendong diteruskan oleh Pertamina dengan mengadakan survei geologi, geokimia, dan geofisika. Pada 1982 itu juga Pertamina menandatangani kontrak pengusahaan panasbumi dengan Unocal Geothermal of Indonesia (UGI) untuk sumur panasbumi di Gunung Cisalak, Jawa Barat. Baru pada tahun 1994 beroperasi PLTP Unit I dan II Gunung Salak.Dan pada Februari 1983 sumur panasbumi di Kamojang berhasil dikembangkan secara baik, dengan beroperasinya Pembangkit Listrik Tenaga Panasbumi (PLTP) Unit-I (1×30 MW). Dan baru pada Februari 1987 Pertamina berhasil mengoperasikan PLTP Unit II.Sementara pengusahaan panasbumi di Gunung Drajat, Jawa Barat, dilakukan oleh Pertamina dengan Amoseas of Indonesia Inc. dan PLN (JOC-ESC). Tahun 1994 beropasi PLTP Unit I di Gunung Drajat.

1990-an
Pada tahun 1991 Pemerintah sekali lagi mengeluarkan kebijakan pengusahaan panasbumi melalui Keppres No. 45/1991 sebagai penyempurnaan atas Keppres No. 22/1981. Dalam Keppres No. 45/1991 Pertamina mendapat keleluasaan, bersama kontraktor, untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi panasbumi. Pertamina juga lebih diberi keleluasaan untuk menjual produksi uap atau listrik kepada PLN atau kepada badan hukum pemegang izin untuk kelistrikan.Di samping itu, pada tahun 1991 keluar juga Keppres No. 49/1991 untuk menggantikan Keppres No. 23/1981 yang mengatur tentang pajak pengusahaan panasbumi dari 46% menjadi 34%. Tujuannya adalah untuk merangsang peningkatan pemanfaatan energi panasbumi. Pada tahun 1994 telah ditandatangani kontrak pengusahaan panasbumi antara Pertamina dengan empat perusahaan swasta. Masing-masing untuk daerah Wayang Windu, Jawa Barat (PT Mandala Nusantara), Karaha, Jawa Barat (PT Karaha Bodas Company), Dieng, Jawa Tengah (PT Himpurna California Energy), dan Patuha, Jawa Barat (PT Patuha Power Limired). Untuk selanjutnya, 1995, penandatanganan kontrak (JOC & ESC) Pertamina Bali Energy Limited dan PT PLN (Persero) untuk pengusahaan dan pemanfaatan panasbumi di daerah Batukahu, Bali.Masih di tahun 1995 penandatanganan kontrak (SSC & ESC) untuk Kamojang Unit-IV dan V antara Pertamina dengan PT Latoka Trimas Bina Energi, serta ESC antara PT Latoka Trimas Bina Energi dengan PT PLN (Persero). Dan masih di tahun 1995 dikeluarkan MOU antara Pertamina dengan PT PLN untuk membangun PLTP (1×20 MW)di Lahendong, Sulawesi Utara dan monoblok (2 MW) di Sibayak, Sumatera Utara.

PENGATURAN PEMERINTAH
Pada awalnya, pengusahaan panasbumi dipercayakan oleh Pemerintah kepada Pertamina, berdasarkan Keppres No. 6 Tahun 1974 tanggal 20 Maret 1974. Meskipun dengan wilayah kerja yang masih terbatas, yaitu di Pulau Jawa saja.Setelah itu wilayah kerja meluas, yaitu ketika Pemerintah mengeluarkan Keppres No. 22/1981 tentang kuasa pengusahaan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya panasbumi untuk pembangkit tenaga listrik di Indonesia. Pelaksanaannya diserahkan kepada Pertamina.Pertamina diwajibkan menjual energi listrik yang dihasilkan dari pengusahaan panasbumi kepada PLN. Selain itu, kalaupun Pertamina belum atau tidak bisa melaksanakan pengusahaan tersebut, bisa bergandengan dengan pihak lain dalam bentuk Kontrak Operasi Bersama (Joint Operation Contract). Sampai saat itu, pajak pengusahaan panasbumi sebesar 46%. Hal ini diatur Keppres No. 23 Tahun 1981. Dalam perkembangan kemudian, Pemerintah mengizinkan instansi lain (selain Pertamina), baik BUMN, swasta nasional, termasuk koperasi untuk mengembangkan usaha dalam bidang ketenagalistrikan skala kecil (10 MW) dan keperluan lain yang terkait.Soal ini diatur Keppres No. 45/ 1991 yang menyempurnakan Keppres No. 22/ 1981. Pertamina selaku pemegang kuasa eksplorasi, untuk menjual hasil produksi panasbumi, baik berupa energi atau listrik tidak hanya kepada PLN. Kemudian Keppres No. 49/1991 sebagai pengganti Keppres No. 23/1981. Di sini diatur kewajiban fiskal pengusahaan panasbumi. Ditetapkan bahwa total bagian yang disetor kepada Pemerintah sebesar 34% dari net operating income. (Sumber: www.djmbp.esdm.go.id)