Pertumbuhan permintaan listrik di Indonesia merupakan yang tercepat di Asia Tenggara. Hingga 2016, peningkatan permintaan konsumsi listrik diperkirakan mencapai rata-rata sebesar 7-9%. Guna memenuhi permintaan tersebut, berbagai upaya telah dilakukan, antara lain melalui Program Percepatan 10.000 MW Tahap I yang diperkirakan akan selesai pada 2013.
Proyek listrik 10.000 MW tahap I sebagian besar masih berupa pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang berbahan bakar batubara. Beberapa tahun lalu upaya ini memang menjadi solusi atas kenaikan harga serta semakin menipisnya pasokan bahan bakar minyak (BBM). Namun, hal itu tak relevan lagi untuk kondisi saat ini. Pasalnya, batubara telah menjadi bahan bakar mayoritas industri di berbagai negara, sehingga pasokan untuk pembangkit listrik dalam negeri menjadi berkurang. Disamping itu emisi yang dihasilkan dari pembakaran batubara juga cukup besar dan menjadi salah satu penyumbang GRK.
Sebenarnya masih ada sebuah ruang yang bisa dimanfaatkan guna meningkatkan pasokan listrik di Indonesia yakni melalui renewable energy atau energi terbarukan, yang menjadi salah satu jawaban tepat atas berbagai keterbatasan pasokan listrik di tanah air. Melalui Program Percepatan 10.000 MW Tahap II direncanakan selesai pada 2015, selain PLTU turut dikembangkan pula pembangkit listrik berbahan bakar renewable energy terutama panas bumi, tenaga air, dan tenaga matahari.
Soal potensi energi terbarukan tersebut, data menunjukkan Indonesia sangat berpeluang mengembangkan kekayaan alam tersebut. Cadangan geotermal di Indonesia merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara, dengan perkiraan sumber daya mencapai 28.543 MW. Sementara itu potensi sumber daya Hydro energy 75.000 MW dan mini/mikro hydro 769,69 MW.
Wapres Minta Pemda Perlancar Pembangunan PLTP
Seperti dikutip dari kantor berita nasional ANTARA (28/12), usai Rapat Wakil Presiden (27/12), Juru Bicara Wapres Yopie Hidayat menyampaikan bahwa Wapres Boediono memerintahkan kepada Pemerintah Daerah memperlancar proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas bumi (PLTP).
Wapres menyampaikan bahwa pembangunan PLTP harus dipermudah karena panas bumi merupakan energi ramah lingkungan yang perlu digencarkan penggunaannya. Selain itu, hal tersebut juga akan dapat meningkatkan kegiatan ekonomi di daerah tersebut.
Yopie menuturkan, Peraturan Presiden (Perpres) tentang panas bumi ditargetkan selesai tahun ini dan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tentang panas bumi akan segera selesai pada Januari 2011. “Jika sudah ada regulasi yang jelas, maka pelaksanaannya ada di tangan para kepala daerah sebagai kepala tender proyek,” ujar Yopie.
Saat ini Indonesia baru memanfaatkan energi panas bumi sebesar 1.100 MW, atau sekitar 4,2 % dari cadangan panas bumi nasional. Padahal Indonesia menyimpan 40 % dari potensi panas bumi dunia yang menjadikan negeri ini memiliki potensi panas bumi terbesar. Indonesia tertinggal dari Amerika Serikat yang telah memanfaatkan 4.000 MW, dan Filipina sekitar 2.000 MW.
Pengembangan sumber energi panas bumi yang tergolong masih kecil hingga saat ini terutama akibat masih terdapat berbagai kendala. Seperti, investasi awal yang membutuhkan dana besar. Sebab tahap eksplorasi sumber panas bumi memiliki resiko tinggi sehingga berdampak pada aspek pembiayaan, nilai keseluruhan proyek hingga penghitungan harga uap untuk menggerakan turbin pada PLTP. Selain membutuhkan dana besar juga menghadapi resiko kegagalan (dry).
Dari sisi biaya, pembangunan PLTU juga lebih ekonomis dibandingkan PLTP. Selain itu, dari sisi harga listrik per kWh-nya, secara agregat harga listrik dari PLTU untuk setiap kWh juga lebih murah dibandingkan dengan PLTP.
Ini terutama disebabkan banyak biaya tak langsung (indirect cost) yang tidak dimasukkan ke dalam perhitungan tersebut. Tapi, ketika berbagai biaya langsung, terutama transportasi batubara dan kendala cuaca, dimasukkan ke dalam perhitungan biaya per kWh, maka harga akan relatif berimbang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar