Rabu, Januari 19, 2011

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 76 TAHUN 2000 TENTANG PENGUSAHAAN SUMBER DAYA PANAS BUMI UNTUK PEMBANGKITAN TENAGA LISTRIK

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 76 TAHUN 2000

TENTANG

PENGUSAHAAN SUMBER DAYA PANAS BUMI

UNTUK PEMBANGKITAN TENAGA LISTRIK

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa sesuai dengan kebijaksanaan diversifikasi dan konservasi energi, perlu dilakukan

usaha dan upaya untuk lebih mendorong penggunaan sumber daya panas bumi sebagai

energi untuk pembangkitan tenaga listrik secara efisien dan berdaya saing;

b. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, dan guna mendapatkan harga listrik

yang layak serta adanya rasio risiko antara pembeli dan pemasok yang seimbang, perlu

dilakukan pembaruan pengaturan tentang pengusahaan sumber daya panas bumi untuk

pembangkitan tenaga listrik;

Mengingat :

1. Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945;

2. Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3317);

3. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 43, Tambahan Lembaran

Negara Nomor 3687);

4. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran

Negara Nomor 3699);

5. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor

3839);

6. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara

Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999

Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3848);

7. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak

Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59,

Tambahan Lembaran Negara Nomor 3838);

8. Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 1998 tentang Kerja Sama Pemerintah dan Badan

Usaha Swasta dalam Pembangunan dan atau Pengelolaan Infrastruktur;

9. Keputusan Presiden Nomor 166 Tahun 1999 tentang Restrukturisasi dan Rehabilitasi PT.

(PERSERO) Perusahaan Listrik Negara;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KEPUTUSAN PRESIDEN TENTANG PENGUSAHAAN SUMBER DAYA PANAS BUMI UNTUK

PEMBANGKITAN TENAGA LISTRIK.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Keputusan Presiden ini yang dimaksud dengan :

1. Pengusahaan sumber daya panas bumi adalah rangkaian kegiatan yang meliputi

kegiatan eksplorasi, eksploitasi dan pembangkitan tenaga listrik.

2. Eksplorasi adalah kegiatan penyelidikan geologi, geokimia, geofisika, dan landaian suhu

yang apabila diintegrasikan pada suatu daerah panas bumi dapat menghasilkan uap atau

fluida melalui pengeboran sumur eksplorasi untuk mengetahui tingkat cadangan terduga,

tingkat cadangan mungkin dan tingkat cadangan terbukti.

3. Eksploitasi adalah kegiatan yang meliputi pengeboran sumur produksi dan injeksi untuk

mencapai target kapasitas produksi, pembangunan fasilitas lapangan panas bumi untuk

pembangkitan tenaga listrik.

4. Wilayah Usaha adalah wilayah tertentu untuk melakukan kegiatan eksplorasi, eksploitasi

dan pembangkitan tenaga listrik yang batas-batas dan syarat-syarat wilayah ditetapkan

oleh Kepala Daerah.

5. Iuran Eksploitasi adalah iuran yang dibayarkan kepada Negara atas hasil yang diperoleh

dari pengusahaan sumber daya panas bumi.

6. Izin Pengusahaan adalah izin yang diberikan oleh Kepala Daerah kepada Badan Usaha

untuk melakukan kegiatan pengembangan sumber daya panas bumi untuk

pembangkitan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri di wilayah usahanya.

7. Badan Usaha adalah Badan Usaha Milik Negara sebagai Pemegang Kuasa Usaha

Ketenagalistrikan (PKUK), Koperasi dan Badan Usaha Swasta yang berbadan hukum

yang dibentuk dan didirikan berdasarkan hukum Indonesia.

8. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang sumber daya panas bumi dan

ketenagalistrikan.

9. Pemerintah adalah Departemen Pertambangan dan Energi c.q. unit yang bertanggung

jawab di bidang sumber daya panas bumi.

10. Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) adalah rencana kebutuhan daya

listrik nasional yang ditetapkan oleh Menteri.

BAB II

EKSPLORASI

Pasal 2

(1) Eksplorasi sumber daya panas bumi dapat dilaksanakan oleh Pemerintah, Koperasi dan

Badan Usaha Swasta.

(2) Eksplorasi sumber daya panas bumi oleh Pemerintah didasarkan pada prospek panas bumi

dan kebutuhan daya listrik.

(3) Eksplorasi sumber daya panas bumi oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)

dapat dilaksanakan sampai dengan penemuan cadangan terbukti.

(4) Data hasil eksplorasi sumber daya panas bumi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah

milik Pemerintah.

(5) Eksplorasi sumber daya panas bumi oleh Koperasi dan Badan Usaha Swasta sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) dilakukan untuk pembangkitan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri.

(6) Eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), diberikan batas waktu paling lama 3 (tiga)

tahun sejak tanggal izin pengusahaan dikeluarkan sampai dengan penemuan cadangan terbukti

dan apabila perlu dapat diperpanjang paling banyak 2 (dua) kali masing-masing 1 (satu) tahun.

(7) Ketentuan mengenai tata cara dan persyaratan Eksplorasi ditetapkan lebih lanjut oleh

Menteri.

BAB III

EKSPLOITASI

Pasal 3

(1) Badan Usaha yang melakukan Eksploitasi untuk pembangkitan tenaga listrik untuk

kepentingan umum harus membuat rencana Eksploitasi.

(2) Eksploitasi sumber daya panas bumi oleh Koperasi dan Badan Usaha Swasta untuk

pembangkitan tenaga listrik untuk kepentingan umum, pelaksanaannya dilakukan atas kerja

sama dengan PKUK melalui lelang.

(3) Dalam hal eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) tidak sampai pada

penemuan cadangan terbukti, Badan Usaha dapat melakukan eksplorasi lanjutan dan eksploitasi

untuk pembangkitan tenaga listrik.

(4) Eksplorasi lanjutan dan eksploitasi untuk pembangkitan tenaga listrik sebagaimana dimaksud

dalam ayat (3) oleh Badan Usaha Swasta dan Koperasi, dilakukan atas kerja sama dengan

PKUK melalui lelang.

(5) Eksploitasi sumber daya panas bumi yang dilakukan oleh Badan Usaha untuk pembangkitan

tenaga listrik untuk kepentingan umum didasarkan pada RUKN.

(6) Koperasi dan Badan Usaha Swasta yang mengikuti lelang sebagaimana dimaksud dalam

ayat (2) dan ayat (4) wajib memiliki kemampuan keuangan, teknis operasional, dan penilaian

kinerja yang baik.

(7) Eksploitasi sumber daya panas bumi yang dilakukan oleh Koperasi dan Badan Usaha Swasta

untuk pembangkitan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri tidak mengikat Pemerintah atau

PKUK untuk membeli tenaga listrik yang dihasilkan.

(8) Tata cara dan syarat-syarat pelelangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) ditetapkan

lebih lanjut oleh Menteri.

BAB IV

PEMBANGKITAN TENAGA LISTRIK

Pasal 4

Pembangunan dan pengoperasian instalasi pembangkit tenaga listrik dilaksanakan berdasarkan

peraturan perundang-undangan di bidang ketenagalistrikan.

BAB V

PERIZINAN

Pasal 5

(1) Pengusahaan sumber daya panas bumi selain yang dilakukan oleh Pemerintah dan atau oleh

PKUK, pada tingkat eksplorasi, hanya dapat dilakukan berdasarkan Izin Pengusahaan.

(2) Pengusahaan sumber daya panas bumi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan

dengan pembiayaan tanpa jaminan dan tanpa kewajiban dari pemerintah terhadap modal yang

ditanamkan.

(3) Izin Pengusahaan sumber daya panas bumi untuk pembangkitan tenaga listrik hanya dapat

diberikan kepada Badan Usaha Swasta dan Koperasi yang telah memenuhi syarat-syarat

administrasi, teknis dan keuangan.

(4) Kepala Daerah sesuai dengan kewenangannya masing-masing memberikan Izin

Pengusahaan sumber daya panas bumi untuk pembangkitan tenaga listrik untuk kepentingan

sendiri di wilayah usahanya dalam jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari kalender

setelah permohonan izin diterima secara lengkap.

(5) Dalam hal permohonan izin tidak mendapat persetujuan, Kepala Daerah menyampaikan

jawaban tertulis disertai alasan penolakan.

(6) Badan Usaha wajib melaksanakan Eksploitasi dan membangun instalasi pembangkit tenaga

listrik sampai dengan beroperasinya tenaga listrik paling lambat 5 (lima) tahun sejak tanggal

dikeluarkan Izin Pengusahaan.

(7) Kepala Daerah dapat mencabut atau membatalkan Izin Pengusahaan, dalam hal Badan

Usaha Swasta dan Koperasi:

a. memindahkan Izin Pengusahaan kepada pihak lain tanpa persetujuan Kepala Daerah;

atau

b. tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (6).

(8) Tata cara perizinan pengusahaan sumber daya panas bumi untuk pembangkitan tenaga listrik

ditetapkan oleh Menteri.

BAB VI

H A K

Pasal 6

Pemegang Izin Pengusahaan berhak melakukan kegiatan Eksplorasi dan atau Eksploitasi serta

pembangkitan tenaga listrik dalam Wilayah Usaha selama Izin Pengusahaan masih berlaku.

BAB VII

KEWAJIBAN

Pasal 7

(1) Pemerintah, PKUK atau Pemegang Izin Pengusahaan harus memberitahukan lebih dulu

kepada Pemerintah Daerah setempat sebelum melaksanakan kegiatan Eksplorasi dan atau

Eksploitasi serta pembangkitan tenaga listrik.

(2) Dalam hal di Wilayah Usaha terdapat bagian-bagian tanah yang dikuasai oleh pemegang hak

atas tanah atau pemakai tanah, maka sebelum memulai kegiatannya, Badan Usaha wajib

menyelesaikan masalah tanah tersebut sesuai peraturan perundang-undangan di bidang

pertanahan.

(3) Dalam hal di Wilayah Usaha terdapat tanah ulayat dan yang serupa dari masyarakat hukum

adat, maka penyelesaian hak-hak atas tanah di Wilayah Usaha tersebut dilakukan oleh Badan

Usaha dengan masyarakat hukum adat yang bersangkutan sesuai kesepakatan kedua belah

pihak.

(4) Perolehan tanah-tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) dapat dilakukan

dengan cara perjanjian pemakaian, pengalihan hak, pelepasan hak atau kerja sama.

(5) Perolehan tanah-tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dilakukan hanya terhadap

tanah yang dipergunakan langsung untuk kepentingan Badan Usaha yang bersangkutan.

(6) Perolehan tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dilakukan dengan cara yang paling

menguntungkan bagi kedua belah pihak.

Pasal 8

(1) Pemegang Izin Pengusahaan dalam melaksanakan kegiatan Eksplorasi dan atau eksploitasi

serta pembangkitan tenaga listrik mengutamakan tenaga setempat sesuai dengan keahliannya.

(2) Pemegang Izin Pengusahaan wajib menyampaikan rencana kerja dan anggaran kepada

Kepala Daerah serta bertanggung jawab atas segala akibat yang timbul dari pelaksanaan izin

yang dimiliki.

(3) Pemegang Izin Pengusahaan wajib melaporkan setiap rencana perubahan yang berhubungan

dengan kegiatan Eksplorasi dan atau Eksploitasi kepada Kepala Daerah.

BAB VIII

PENETAPAN DAN PENGEMBALIAN WILAYAH

Pasal 9

Batas dan luas wilayah kegiatan Eksplorasi, Eksploitasi dan pembangkitan tenaga listrik

ditetapkan oleh Kepala Daerah berdasar-kan pertimbangan teknis dan kondisi setempat, dan

dicantumkan dalam surat Izin Pengusahaan.

Pasal 10

(1) Dalam hal Eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (6) telah selesai, Badan

Usaha wajib mengembalikan seluruh wilayah yang tidak dipergunakan lagi.

(2) Dalam hal Eksploitasi telah selesai dan telah dilaksanakan usaha pelestarian fungsi

lingkungan, Badan Usaha wajib secara tertulis mengembalikan seluruh wilayah yang tidak

dipergunakan lagi kepada Kepala Daerah dengan tembusan kepada Menteri, selambatlambatnya

90 (sembilan puluh) hari kalender setelah kegiatan pembangkitan dimulai.

(3) Pengembalian wilayah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) adalah sah

setelah mendapat persetujuan tertulis dari Kepala Daerah berdasarkan evaluasi teknis dan

rekomendasi Pemerintah Daerah setempat dalam pelaksanaan pelestarian fungsi lingkungan.

(4) Kepala Daerah menetapkan persetujuan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga

puluh) hari kalender setelah menerima permohonan pengembalian wilayah.

Pasal 11

(1) Apabila Badan Usaha telah mengembalikan sebagian atau seluruh wilayah usaha kepada

Pemerintah, maka Badan Usaha yang bersangkutan dibebaskan dari segala kewajiban yang

berhubung-an dengan penguasaan dan penggunaan tanah di wilayah yang dikembalikan

tersebut.

(2) Apabila sebagian atau seluruh wilayah usaha telah dikembalikan, maka Badan Usaha yang

bersangkutan wajib menyerahkan kepada Menteri semua foto, ukuran tanah, dan data

kepanasbumian lainnya baik dalam bentuk analog maupun digital yang ada hubungannya

dengan pelaksanaan pengusahaan sumber daya panas bumi.

BAB IX

PENERIMAAN NEGARA

Pasal 12

(1) Badan Usaha yang melaksanakan pengusahaan sumber daya panas bumi wajib menyetorkan

Iuran Eksploitasi ke kas Negara.

(2) Penerimaan iuran eksploitasi merupakan penerimaan Negara yang dibagi menurut

perimbangan bagian Pemerintah Pusat dan bagian Pemerintah Daerah sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

(3) Penerimaan iuran eksploitasi yang merupakan bagian Pemerintah Pusat adalah Penerimaan

Negara Bukan Pajak.

(4) Tarif, tata cara pengenaan, pemungutan dan penggunaan iuran eksploitasi ditetapkan sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 13

(1) Badan Usaha yang melaksanakan pengusahaan sumber daya panas bumi wajib memenuhi

ketentuan perpajakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Badan Usaha yang melaksanakan penanaman modal di bidang pengusahaan sumber daya

panas bumi dapat diberikan fasilitas perpajakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

BAB X

HARGA JUAL TENAGA LISTRIK

Pasal 14

(1) Harga jual tenaga listrik oleh Badan Usaha kepada konsumen dinyatakan dalam rupiah.

(2) Tata cara dan syarat-syarat jual beli tenaga listrik ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri.

BAB XI

KESELAMATAN KERJA DAN LINGKUNGAN

Pasal 15

(1) Pekerja yang melakukan kegiatan dalam pengusahaan sumber daya panas bumi wajib

menggunakan peralatan dan perlengkapan sesuai kebutuhan yang memenuhi syarat kesehatan

dan keselamatan kerja.

(2) Setiap orang yang diizinkan masuk wilayah kegiatan pengusahaan sumber daya panas bumi,

harus didampingi oleh petugas yang berwenang dan wajib menggunakan peralatan keselamatan

kerja.

(3) Pada tempat kerja, jalan dan gedung di wilayah usaha harus dilengkapi dengan tanda-tanda

larangan, peringatan dan anjuran yang jelas dan mudah dimengerti, yang ditempatkan pada

lokasi yang strategis.

Pasal 16

Pemerintah, PKUK, dan Pemegang Izin Pengusahaan wajib menjaga kelestarian fungsi

lingkungan.

Pasal 17

(1) PKUK dan Pemegang Izin Pengusahaan wajib menyediakan peralatan pencegahan dan

penanggulangan pencemaran lingkungan, antara lain :

a. kolam penampungan lumpur bekas pengeboran (mud pit) yang kedap air dengan daya

tampung yang cukup memadai dan daya serap terhadap bahan pencemaran yang tinggi,

sehingga kualitas air limbah yang mengalir ke luar dapat memenuhi ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku;

b. peredam suara, sehingga tingkat kebisingan yang terjadi di daerah perumahan dan

pemukiman adalah di bawah nilai ambang batas 55 dB dan untuk daerah Ruang Terbuka

Hijau adalah di bawah 50 dB.

(2) PKUK dan Pemegang Izin Pengusahaan wajib melakukan:

a. pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh

pengusahaan sumber daya panas bumi; dan

b. pencegahan terjadinya erosi tanah yang diakibatkan oleh pengusahaan sumber daya

panas bumi.

(3) Dalam mempersiapkan lokasi pengeboran, PKUK dan Pemegang Izin Pengusahaan harus

memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

a. membuat saluran air (drainage) sepanjang jalan baru dan di sekitar lokasi pengeboran;

b. pembukaan lahan untuk jalan dan lokasi pengeboran harus dilakukan seminimal

mungkin;

c. pengambilan air untuk keperluan pengeboran harus memperhatikan kepentingan pihak

lain.

(4) PKUK dan Pemegang Izin Pengusahaan wajib menutup sumur bor Eksplorasi yang tidak

dimanfaatkan lagi, untuk menghindari terjadinya semburan liar uap dan gas yang berbahaya

terhadap lingkungan di sekitarnya.

(5) PKUK dan Pemegang Izin Pengusahaan wajib mengelola sumur bor Eksplorasi dan atau

Eksploitasi yang berpotensi terjadinya semburan gas yang tidak terkendali.

Pasal 18

(1) PKUK dan Pemegang Izin Pengusahaan wajib melakukan pencegahan dan penanggulangan

pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatan Eksploitasi sumber daya panas bumi.

(2) PKUK dan Pemegang Izin Pengusahaan dilarang membuang limbah padat, limbah cair dan

emisi gas yang dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan.

(3) PKUK dan Pemegang Izin Pengusahaan harus mempunyai alat pengelola limbah (padat, cair

dan gas buang) yang mempunyai persyaratan teknis, sebagai berikut :

a. mempunyai kapasitas yang mampu mengolah limbah (limbah padat (B3/non B3), cair

dan gas buang) yang bersangkutan;

b. mampu menurunkan kadar limbah (padat, cair dan gas buang) yang membahayakan;

c. memungkinkan pengambilan contoh limbah (padat, cair dan gas buang).

Pasal 19

PKUK dan Pemegang Izin Pengusahaan harus memenuhi baku mutu udara dan limbah cair

sebagai berikut :

a. Baku mutu udara ambient untuk SO2 tidak lebih dari 365 ug/Nm?, CO tidak lebih dari

10.000 ug/Nm? , NO2 tidak lebih dari 150 ug/Nm?;

b. Baku mutu udara emisi untuk SO2 tidak lebih dari 800 mg/m?, NO2 tidak lebih dari 100

mg/m?, H2S tidak lebih dari 35 mg/m?, amonia (NH3) tidak lebih dari 0,5 mg/m?;

c. baku mutu kualitas limbah cair yaitu temperatur air buangan tidak lebih dari 38 0C,

kekeruhan 30 NTU, padatan terlarut 2000 mg/l, padatan tersuspensi 80 mg/l, pH 6 – 9,

BOD tidak lebih dari 50 mg/l, COD tidak lebih dari 100 mg/l, klorin bebas (Cl2) tidak lebih

dari 1 mg/l, sianida (CN) 0,02 mg/l, Arsen (As) 0,1 mg/l, Sulfida (H2S) 0,05 mg/l.

Pasal 20

Pengusahaan sumber daya panas bumi untuk pembangkitan tenaga listrik tidak boleh

dilaksanakan di kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, dan kawasan cagar budaya.

BAB XII

SANKSI

Pasal 21

(1) Pemegang Izin Usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7,

Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal

13 ayat (1), Pasal 14 ayat (1), Pasal 15, dan Pasal 17 diberikan sanksi oleh Kepala Daerah,

berupa :

a. Pencabutan sementara Izin Pengusahaan, atau

b. Pencabutan Izin Pengusahaan.

(2) Sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan setelah terlebih dahulu mendapat

peringatan secara tertulis.

BAB XIII

JANGKA WAKTU DAN PENGAKHIRAN

Pasal 22

(1) Izin Pengusahaan berlaku paling lama 30 (tiga puluh) tahun, dengan ketentuan :

a. dalam hal kegiatan pengusahaan sumber daya panas bumi dilakukan oleh Koperasi dan

Badan Usaha Swasta untuk pembangkitan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5), Izin Pengusahaan dihitung sejak

dimulainya tahap Eksplorasi;

b. dalam hal kegiatan pengusahaan sumber daya panas bumi dilakukan oleh Koperasi dan

Badan Usaha Swasta untuk pembangkitan tenaga listrik untuk kepentingan umum

sebagai tindak lanjut atas ekplorasi yang dilaksanakan oleh pemerintah sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3), Izin Pengusahaan dihitung sejak dimulainya tahap

Eksploitasi.

(2) Paling lambat 6 (enam) bulan setelah jangka waktu Izin Pengusahaan berakhir, Badan Usaha

wajib mengembalikan Wilayah Usaha kepada Kepala Daerah.

(3) Setelah berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) semua aset yang

berkaitan dengan pengusahaan panas bumi menjadi milik Negara.

(4) Kepala Daerah menetapkan persetujuan pengakhiran pengusahaan setelah Badan Usaha

melaksanakan pelestarian dan pemulihan fungsi lingkungan pada lokasi pengusahaan panas

bumi yang dinyatakan oleh Pemerintah Daerah setempat.

Pasal 23

(1) Izin Pengusahaan sumber daya panas bumi untuk pembangkitan tenaga listrik dapat

diperbarui dengan izin Kepala Daerah.

(2) Kepala Daerah mengeluarkan pembaruan izin pengusahaan sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) berdasarkan evaluasi yang dilakukan oleh tenaga ahli yang berwenang.

BAB XIV

PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 24

(1) Menteri dan Kepala Daerah, sesuai dengan fungsinya masing-masing, melakukan pembinaan

dan pengawasan terhadap pelaksanaan Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi.

(2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi kelangsungan

penyediaan tenaga listrik, keselamatan ketenagalistrikan yang mencakup keselamatan instalasi

sumur panas bumi maupun instalasi tenaga listrik, keselamatan kerja, keselamatan umum,

lindungan fungsi lingkungan, dan tercapainya standardisasi.

BAB XV

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 25

(1) Kontrak Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi dan atau Kontrak Kerja Sama

Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi yang telah ditandatangani sebelum ditetapkan

Keputusan Presiden ini, tetap berlaku, dan tetap dikenakan peraturan perpajakan berdasarkan

Keputusan Presiden Nomor 49 Tahun 1991 sampai Kontrak Kerja Sama yang bersangkutan

berakhir, sepanjang tidak ditetapkan lain berdasarkan hasil negosiasi ulang kontrak oleh Tim

Restrukturisasi dan Rehabilitasi PT. (PERSERO) Perusahaan Listrik Negara sesuai Keputusan

Presiden Nomor 166 Tahun 1999 tentang Tim Restrukturisasi dan Rehabilitasi PT. (PERSERO)

Perusahaan Listrik Negara.

(2) Kuasa dan wilayah kerja pengusahaan sumber daya panas bumi yang telah diberikan kepada

Pertamina sebelum ditetapkan Keputusan Presiden ini tetap berlaku selama 2 (dua) tahun sejak

diberlakukan Keputusan Presiden ini, dan Pertamina wajib melakukan penyesuaian kegiatannya

berdasarkan Keputusan Presiden ini.

(3) Pertamina wajib menyerahkan kepada Menteri dokumen Eksplorasi dan Eksploitasi dalam

pengusahaan sumber daya panas bumi yang telah dilakukan sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1) dan yang akan dilakukan dalam sisa jangka waktu 2 (dua) tahun sebagaimana dimaksud

dalam ayat (2).

BAB XVI

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 26

Dengan ditetapkan Keputusan Presiden ini, Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1981

sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 45 Tahun 1991 dan Keputusan

Presiden Nomor 49 Tahun 1991 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai

dan Pungutan-pungutan Lainnya terhadap Pelaksanaan Kuasa dan Izin Pengusahaan Panas

Bumi untuk Pembangkitan Tenaga/Energi Listrik dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 27

Pelaksanaan ketentuan Keputusan Presiden ini ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan

Menteri.

Pasal 28

Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 31 Mei 2000

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

ABDURRAHMAN WAHID

Tidak ada komentar:

Posting Komentar