Rabu, Januari 19, 2011

Pengusahaan Panas Bumi di Indonesia

Pengusahaan Panas Bumi di Indonesia


1. Pendahuluan
Energi panas bumi adalah panas yang tersimpan dalam fluida dan batuan di bawah permukaan Bumi. Pada kondisi geologi tertentu, energi panas bumi dapat tersimpan dalam reservoir-reservoir (biasanya kedalaman);
Suatu sistem panas bumi dapat dimodelkan secara sederhana seperti pada Gambar 1, yang terdiri dari: (a) sumber panas, (b) air tanah untuk mentransport panas, dan (c) reservoir dengan volume cukup dan permeabilitas yang memadai untuk memfasilitasi konveksi maupun penyimpanan panas. Karakteristik sistem panas bumi juga dipengaruhi oleh sistem tektonik regional yang berkaitan.
Terdapat dua tipe sumberdaya panas bumi: (1) sumberdaya panas bumi non-vulkanik (terletak dalam sedimen), dan (2) sumberdaya panas bumi magmatik-vulkanik.

Beberapa konsekuensi alami berkaitan dengan keberadaan fluida dan transport panas pada daerah panas bumi antara lain mencakup: (1) pelarutan mineral-mineral primer dan pembentukan mineral-mineral sekunder yang cukup stabil dalam lingkungan hidrotermal yang dihasilkan, (2) perubahan sifat-sifat fisik (permeabilitas) batuan reservoir terutama oleh alterasi argillik (karena keberadaan temperatur tinggi dan fluida bersifat asam), silisifikasi (karena presipitasi silika pada saat panas terpindahkan dari fluida panas yang sedang menuju ke permukaan) dan densifikasi (karena derajat metamorfisme hidrotermal yang rendah), dan (3) pembentukan manifestasi-manifestasi permukaan seperti fumarola, mata air panas serta uap permukaan.

Gambar 1 Sistem Panas Bumi

Target eksplorasi untuk sumberdaya panas bumi konvektif biasanya adalah suatu daerah yang terdiri dari patahan dan rekahan (High Permeability Zone) terisi fluida panas dan produk-produk alterasi hidrotermal. Zona resistivitas rendah yang dihasilkan brine clay (lempung) yang menutupi sistem panas bumi memberikan karakteristik yang mudah dideteksi dengan metode elektromagnetik.
Pada kasus sistem panas bumi bertemperatur panas tipe vulkanik, alterasi hidrotermal dekat permukaan, air panas bumi yang biasanya bersifat asam dan saline serta temperatur tinggi menyebabkan nilai resisitivitas bawah permukaan menjadi sangat kecil. Hal ini yang memungkinkan sistem panas bumi dipetakan berdasarkan sifat kelistrikan batuannya.

2.Potensi Panas Bumi Indonesia

Potensi panas bumi Indonesia mencapai lebih dari 27.000 MW atau setara 219 juta barel minyak bumi dan merupakan hampir 40% dari potensi panas bumi di dunia. Potensi ini terdiri dari lebih dari 13 GW masih berupa Sumber Daya (resources) dan lebih dari 14 GW telah berstatus Cadangan (reserves) yang 2.200 MW diantaranya merupakan Cadangan Terbukti (proven reserves). Potensi ini tersebar di 256 lokasi yang terletak di Provinsi Nangroe Aceh Darusallam (NAD) hingga Provinsi Papua sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Peta Sebaran Potensi Panas Bumi Indonesia

3.Kebijakan Pemerintah Bidang Panas Bumi

Pengusahaan panas bumi di Indonesia di Indonesia dimulai pada tahun 1974 dengan terbitnya Keppres 74 tahun 1974 yang memberikan kuasa pengusahaan sumber daya panas bumi kepada Pertamina. Kemudian aturan ini dilanjutkan dengan Keppres Nomor 22/1981 dan Penyempurnaan Keppres Nomor 45/1991. Kemudian pada tahun 2000 diterbitkan keppres Nomor 76/2000 yang mencabut monopoli pertamina pada pengusahaan panas bumi di Indonesia.
Pada tahun 2003 diterbitkan Undang-Undang Nomor 27 tahun 2003 tentang panas bumi. Dengan terbitnya Undang-undang ini, maka segala aturan pengusahaan panas bumi mengacu kepada undang-undang ini dan semua aturan turunannya. Namun untuk kontrak-kontrak pengusahaan panas bumi yang telah ada (eksisting) keberadaanya tetap dihormati sampai dengan berakhirnya kontrak.

Pada tahun 2006 terbit Peraturan Presiden nomor 5 yang mengamanatkan penggunaan energi mix nasional pada tahun 2025, porsi penggunaan minyak bumi harus dikurangi dan akan memperbesar porsi penggunaan gas bumi dan batubara, sebagaimana terlihat pada Gambar 3. Pada tahun 2006 penggunaan energi (primer) mix nasional masih sangat tergantung kepada energi minyak bumi sebesar 54%, energi gas alam 26.5% dan batubara 14% sedangkan untuk energi lain porsinya masih kecil termasuk panas bumi yang memiliki kontribusi sebesar 1.4%. Perkiraan penggunaan energi mix nasional tanpa adanya optimalisasi pengelolaan energi (skenario Businesss as Usual, BaU) dari panas bumi pada tahun 2025 hanya 1,1%. Dengan adanya program optimalisasi diharapkan berkontribusi sebesar 3,8%, dengan mengikuti target road map panas bumi yang telah disusun.

Gambar 3 Sasaran Energi Mix Nasional

Namun dengan adanya crash program Percepatan Pengembangan Listrik 10.000 MW Tahap 2, dalam hal ini panas bumi diharapkan memiliki kontribusi lebih besar. Karena 70% dari target percepatan pengembangan tersebut diharapkan berasal dari tenaga hidro, panas bumi dan energi baru terbarukan lainnya. Sehingga dengan target yang lebih besar daripada yang tercantum dalam road map panas bumi, maka kerja lebih keras diperlukan untuk memenuhi target tersebut. Saat ini telah dibuat rencana pengembangan listrik dari energi panas bumi yang mengikuti Program Percepatan Pengembangan Listrik 10.000 MW Tahap 2, sebagaimana tercantum dalam Tabel 1 dibawah ini:
Tabel 1 Rencana Pengembangan Panas Bumi 2009-20018

Undang-Undang Panas Bumi Nomor 27 Tahun 2003 pasal 10 ayat (1) menyebutkan bahwa kegiatan operasional panas bumi terdiri dari (Gambar 4):
1. Survei Pendahuluan;
2. Eksplorasi;
3. Eksploitasi;
4. Studi Kelayakan; dan
5. Pemanfaatan.
Gambar 4 Kegiatan Operasional Panas Bumi

Dari semua kegiatan diatas, Pemerintah mempunyai kewajiban untuk melakukan Survei Pendahuluan dan dapat melakukan kegiatan eksplorasi, sedangkan kegiatan lainnya sepenuhnya dilakukan oleh badan usaha. Undang-Undang 27 tahun 2003 dan Peraturan Pemerintah nomor 59/2007, memungkinkan Pemerintah untuk dapat memberikan Penugasan Survei Pendahuluan kepada pihak ketiga/Badan Usaha. Yang dimaksud dengan Survei Pendahuluan menurut undang-undang adalah kegiatan yang meliputi pengumpulan, analisis dan penyajian data yang berhubungan dengan informasi kondisi geologi, geofisika, dan geokimia untuk memperkirakan letak dan adanya sumber daya Panas Bumi serta wilayah kerja.

Sebagai tindaklanjut dari UU 27/2003 dan PP 59/2007, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 005 tahun 2007 tentang Pedoman Penugasan Survei Pendahuluan Panas Bumi. Secara garis besar prosedur penugasan survei pendahuluan dapat dilihat pada Gambar 5 dibawah ini :

Keterangan Gambar:
a. Pemohon mengajukan kepada Menteri
b. Evaluasi berkas oleh Tim Evaluasi
c. Persetujuan oleh Menteri dengan mengeluarkan surat penugasan
d. Penolakan oleh Menteri
e. UPIPWP mengeluarkan Peta Lokasi penugasan

Gambar 5 Prosedur Penugasan Survei Pendahuluan Panas Bumi

Saat ini tengah dilakukan penugasan survei pendahuluan di 6 (enam) lokasi, dengan perkiraan potensi awal dari Badan Geologi sebesar 1.009 MW. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Wilayah yang sedang Dilakukan Penugasan Survei Pendahuluan Panas Bumi

Untuk mencapai target pengembangan diatas Pemerintah telah mendorong optimalisasi produksi dengan melakukan pengembangan pada lapangan yang telah berproduksi, Selain hal diatas Pemerintah mengeluarkan kebijakan dalam rangka percepatan pengembangan panas bumi yaitu dengan mengeluarkan permen ESDM nomor 11 tahun 2008 tentang Tatacara Penetapan Wilayah Kerja Pertambangan (WKP) Panas Bumi, sebagai hasilnya Pemerintah telah menetapkan 9 (sembilan) WKP baru dengan total target pengembangan sebesar 680 MWe, sebagaimana tercantum dalam Tabel 3


Tabel 3 Wilayah Kerja Pertambangan (WKP) Panas Bumi yang Baru Ditetapkan

Selain 9 (sembilan) WKP baru tersebut diatas, dalam waktu dekat Pemerintah akan segera menetapkan 11 (sebelas) WKP Panas Bumi baru.

4. Permasalahan yang Dihadapi

Akan tetapi dalam mencapai tujuan yang diamanatkan undang-undang terdapat beberapa kendala dan permasalahan yang dihadapi, diantaranya permasalahan harga, risiko tinggi yang dihadapi serta investasi yang besar.

4.1 Harga (pricing)

Permasalahan harga dalam panas bumi ini merupakan permasalahan utama yang menghambat pengembangan panas bumi. Harga keekonomisan panas bumi adalah sekitar US $7-8 sen, sedangkan harga jualnya masih dibawah harga keekonomisan tadi. Sehingga dengan latarbelakang hal diatas dan sesuai kebijakan diversifikasi dan konservasi energi, perlu dilakukan usaha dan upaya untuk mlebih mendorong penggunaan sumberdaya panas bumi sebagai energi untuk pembangkitan tenaga listrik secara efisien dan berdaya saing maka dikeluarkan Peraturan Menteri ESDM nomor 14 tahun 2008 tentang Harga Patokan Penjualan Tenaga Listrik Dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi, yang mengamanatkan bahwa harga patokan tertinggi penjualan tenaga listik dari PLTP pada sat pelelangan Wilayah Kerja Pertambangan (WKP) Panas Bumi dihitung bedasarkan persentase terhadap BPP PKUK atau PIUKU terintegrasi sebagai berikut:

* 85% BPP di sisi Tegangan tinggi (BPP-TT) atau 85% BPP di sisi Tegangan Mengengah (BPP-TM) system kelistrikan setempat untuk kapasitas diatas 10MW sampai dengan 55 MW, sesuai dengan rencana interkoneksinya; dan
* 80% BPP di sisi Tegangan Tinggi (BPP-TT) system kelistrikan setempat untuk kapsitas unit lebih besar dari 55 MW.

Yang dimaksud dengan PKUK (pemegang Kuasa Usaha Ketengalistrikan) adalah Badan Usaha Milik Negara yang diserahi tugas oleh Pemerintah semata-mata untuk melksanakan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum. Sedangkan Pengertian Pemegang Izin Usaha Ketanagalistrikan untuk kepentingan Umum (PIUKU) terintegrasi merupakan pemegang izin usaha penyediaan listrik untuk kepentingan umum mulai dari pembangkitan, transmisi distribusi sampai dengan penjualan tenaga listrik. Sedangka BPP merupakan kependekan dari Biaya Pokok Penyediaan yaitu biaya penyediaan tenaga listrik untuk menghasilkan kWh.
Sebagai tindaklanjut Permen ESDM nomor 002/2006 tentang pengusahaan Pembangkit Listrik Energi terbarukan skala menengah dan Permen ESDM nomor 14 tahun 2008 tentang Harga Patokan Penjualan Tenaga Listrik Dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi,maka dikeluarkan Permen ESDM 269-12/26/600.3/2008 tentang Biaya Pokok Penyediaan (BPP) tenaga listrik tahun 2008 yang disediakan oleh PT PLN (persero). Daftar lengkap tentang BPP dapat dilihat pada Tabel 4 dibawah ini:

Tabel 4 Harga Patokan Penjualan Tenaga Listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP)

4.2 Risiko-Risiko yang Dihadapi

Pengusahaan panas bumi memiliki risiko yang tinggi dan untuk memahami risiko-risiko yang berkaitan dengan pengusahaan panas bumi yang disebabkan oleh karena ketidakpastian mengenai sumber energi panas bumi dibawah permukaan; Pada dasarnya risiko pengusahaan panas bumi dapat dibagi menjadi 2 jenis risiko yaitu: risiko teknis, seperti risiko sumberdaya, risiko pembangunan; dan risiko non-teknis, seperti risiko harga dan pasar, risiko hukum dan peraturan serta risiko nilai tukar dan inflasi. risiko selengkapnya dalam dalam pengusahaan panas bumi adalah sebagai berikut:

1. Risiko yang berkaitan dengan sumberdaya (resource risk) yaitu risiko yang berkaitan dengan:Kemungkinan tidak ditemukannya sumber energi panas bumi di daerah yang sedang dieksplorasi (risiko eksplorasi),Kemungkinan besarnya cadangan dan potensi listrik didaerah tersebut lebih kecil dari yang diperkirakan atau tidak bernilai komersial (risiko eksplorasi)Kemungkinan jumlah eksplorasi yang berhasil lebih sedikit dari yang diharapkan (risiko eksplorasi,Kemungkinan potensi sumur (well output) baik sumur eksplorasi lebih kecil dari yang diprkirakan (risiko eksplorasi)Kemungkinan jumlah sumurpengembangan yang berhasil lebih sedikit dari yang diharapkan (risiko pengembangan,Kemungkinan potensi sumur pengembangan lebih kecil dari yan diperkirakanKemungkinan biaya eksplorasi,pengembangan lapangan, pembangan PLTP lebih mahal dari perkiraan semulaKemungkinan terjadinya masalah teknis seperti korosi dan scalling (risiko teknologi) dan masalah lingkungan
2. risiko berkaitan dengan kemungkinan penurunan laju produksi atau penurunan temperatur lebih cepat dari yang diperkirakan (resources degradation)
3. Risiko yang berkaitan dengan kemungkinan perubahan pasar dan harga (market access and price risk)
4. Risiko pembangunan (construction risk)
5. Risiko yang berkaitan dengan perubahan majaemen (management risk),
6. Risiko yang menyangkut perubahan aspek legal dan kemungkinan perubahan kebijaksanaan Pemerintahan (legal and regulatory risk)
7. Risiko berkaitan dengan kemungkinan perubahan bunga bank dan laju inflasi (interests and inflation risk) serta
8. Force Majeure


4.3 Investasi yang Tinggi

Sebagaimana dalam industri pertambangan pada umumnya, industri panas bumi pun membutuhkan investasi yang sangat besar. Sebagaimana terlihat dalam Tabel 5 dibawah ini, setiap kWh yang dihasilkan dibutuhkan investasi sebesar 2.770 dolar amerika atau hampir 150 Juta dolar amerika untuk setiap 55 MW kapasitas terpasang. Sehingga untuk pengembangan panas bumi sesuai dengan Tabel 1 diperlukan biaya investasi mendekati 19 milyar dolar amerika.

Tabel 5 Biaya yang dibutuhkan dalam Industri Panas Bumi

4.4. Kebijakan-Kebijakan Lain:

Kebijakan-kebijakan lain yang telah diambil dalam rangka percepatan pembangkitan listrik dari panas bumi Pemerintah telah melakukan hal-hal sebagai berikut :

1. Membuat kegiatan pengembangan pengusahaan panas bumi menjadi “total project”, yaitu penyatuan proyek hulu (eksplorasi dan Pengembangan lapangan) dan proyek hilir (pembangunan PLTP)
2. Pelaku Penugasan Survei Pendahuluan diberikan fasilitas “first right refusal” yaitu badan usaha pelaksana penugasan survei pendahuluan panas bumi disuatu wilayah akan mendapatkan prioritas dalam melaksanakan pengusahaan panas bumi di wilayah tersebut.
3. Membiayai eksplorasi detil untuk pengembangan panas bumi untuk wilayah timur dalam skala kecil (<10>
4. Memberi kemudahan-kemudahan fiskal dan pajak (PMK 177/PMK.001/2007 tentang Pembebasan Bea Masuk Atas Impor Barang untuk Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi serta Panas Bumi dan PMK 178/2007 tentang Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah Atas Impor Barang untuk Kegiatan Usaha Eksplorasi Hulu Minyak dan Gas Bumi serta Panas Bumi)
5. Memberi kemudahan dan fasilitas dalam bidang fiskal dan pajak, seperti

* PMK nomor 177/PMK.011/2007 tentang Pembebasan Bea Masuk atas Impor Barang untuk Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi serta Panas Bumi dan
* PMK nomor 178/PMK.011/2007 tentang Pajak Pertambahan Nilai yang Ditanggung Pemerintah atas Impor Barang untuk Kegiatan Usaha Eksplorasi Hulu Minyak dan Gas Bumi serta Panas Bumi
* PP 62/2008 tentang Perubahan PP 1/2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu Dan/Atau Di Daerah-Daerah Tertentu, yang memberikan fasilitas Pajak Penghasilan (PPh) untuk penanaman modal yang salah satunya di bidang panas bumi

4.5 Penutup

Undang-Undang nomor 27 tahun 2003 merupakan pilar utama dalam pengusahaan panas bumi di Indonesia. Turunan dari undang-undang ini adalah Peraturan Presiden nomor 59 tahun 2007 yang mengatur salah satunya mengatur tentang pelaksanaan lelang Wilayah Kerja Pertambangan (WKP) Panas Bumi. Saat ini telah terdapat 9 (sembilan) WKP Panas Bumi baru yang telah ditetapkan berdasarkan Permen ESDM Nomor 11 tahun 2008, yang 3 (tiga) diantaranya proses lelangnya telah dilaksanakan. Undang-Undang 27/2003 menyatakan bahwa Penugasan Survei Pendahuluan dapat diberikan kepada Badan Usaha oleh Menteri, yang tatacaranya telah ditetapkan melalui Permen ESDM nomor 5 tahun 2008. Hingga saat ini, terdapat 6 (enam) wilayah yang mendapatkan Penugasan Survei Pendahuluan Panas Bumi. Dalam rangka percepatan pengembangan 10.000 MW tahap kedua, Pemerintah telah melakukan usaha-usaha seperti mengeluarkan peraturan perundangan berupa Peraturan Pemeriintah (PP) dan Peraturan Menteri (Permen) dalam rangka memberikan kepastian untuk menarik minat investor untuk menanamkan modal di bidang panas bumi.

4.6 Daftar Pustaka

1. Blue Print Pengelolaan Energi Nasional 2005-2025, (2005), Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral-Republik Indonesia.
2. Geothermal Area Distribution Map and Its Potential in Indonesia (2006), Badan Geologi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral-Republik Indonesia.
3. Hance, C.N., (2005): Factors Affecting Cost of Geothermal Power Development, Geothermal Energy Association, Geothermal Energy Association.
4. Laporan Sementara Survei Pendahuluan Baturaden oleh PT Trinergi, (2008) , unpublished.
5. Nugraha, H.S.,(2007): The Current State of Geothermal Development and Government Policy in Indonesia, Final Project Report, Geothermal Institute-University of Auckland, Auckland, New Zealand
6. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 005 tahun 2007 tentang Pedoman Penugasan Survei Pendahuluan Panas Bumi, (2007), Republik Indonesia.
7. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 11 tahun 2008 tentang Tata Cara Penetapan Wilayah Kerja Pertambangan Panas Bumi, (2008), Republik Indonesia.
8. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 14 tahun 2008 tentang Harga Patokan Penjualan Tenaga Listrik Dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi, (2008), Republik Indonesia.
9. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 269-12/26/600.3/2008 tahun 2008 tentang Biaya Pokok Penyediaan (BPP) Tenaga Listrik Tahun 2008 Yang Disediakan Oleh Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perusahaan Listrik Negara, (2008), Republik Indonesia.
10. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 177/PMK.011/2007 tentang Pembebasan Bea Masuk atas Impor Barang untuk Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi serta Panas Bumi, (2007), Republik Indonesia.
11. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 178/PMK.011/2007 tentang Pajak Pertambahan Nilai yang Ditanggung Pemerintah atas Impor Barang untuk Kegiatan Usaha Eksplorasi Hulu Minyak dan Gas Bumi serta Panas Bumi, (2007), Republik Indonesia.
12. Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2007 tentang Kegiatan Usaha Panas Bumi, (2007), Republik Indonesia, (2007), Republik Indonesia.
13. Peraturan Pemerintah Nomor 62 tahun 2008 tentang Perubahan PP 1/2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu Dan/Atau Di Daerah-Daerah Tertentu, (2008), Republik Indonesia.
14. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, (2006), Republik Indonesia.
15. Saptadji, N. M., (2006): Update on Geothermal Development in Indonesia, Proceedings 28th New Zealand Geothermal Workshop 2006.
16. Saptadji, N. M., (2003): ‘Teknik Panas Bumi’, Institut Teknologi Bandung, Bandung, Indonesia.
17. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi (2003), Republik Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar